NAHDLATUL ULAMA ITU TIDAK MAU MENGUTAMAKAN “IMAN DAN ISLAM”
Wahai warga NU!
Wahai para Nahdliyyin!
Mengapa kalian tidak mau mendirikan Darul Islam alias Negara Islam?
Mengapa kalian menolak khilafah Islamiyyah?
Mengapa kalian malah mendukung pemerintah dalam membubarkan ormas Islam penyeru khilafah?
Apakah kalian tidak suka syariat islam berdiri tegak di Indonesia?
Wahai warga NU!
Wahai Nahdliyyin di mana pun kalian berada!
Mengapa kalian mudah bergandengan tangan dengan non muslim, namun garang terhadap ormas yang berusaha menegakkan khalifah Islam di Indonesia?
Kalian mesra dengan kaum kafir, namun memusuhi ormas Islam yang inginkan perubahan dibawah naungan khilafah.
Apakah kalian sudah anti dakwah?
Apakah kalian sudah jadi pembela non muslim daripada membela sesama muslim?
Wahai warga NU!
Mengapa kalian tidak mau turun ke jalan, bergerak dan berteriak Takbir dengan kencang untuk menegakkan syariat Islam?
Mengapa kalian malah memusuhi mereka? Padahal mereka sesama beragama Islam!
Apakah kalian sudah alergi dengan pekik takbir?
"WAHAI KALIAN YANG BERBICARA BEGITU...
______________________________________________
Ketahuilah bahwa Identitas NU sebagai organisasi Islam yang moderat dan terbuka selama ini telah mendorong banyak perubahan dalam kehidupan demokrasi. NU selalu siap di garda depan untuk menjaga kerukunan umat beragama, kerukunan bangsa Indonesia. Karena NU lahir bukan untuk warga Nahdliyyin atau umat Islam saja melainkan telah menegaskan jati diri sebagai organisasi Islam yang terbuka khususnya untuk bangsa dan negara Indonesia, dan pada negara-negara di dunia dengan menampilkan wajah Islam yang Rahmatan Lil 'Alamin. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW tidak menginginkan pendirian Darul Islam (negara Islam) dan juga bukan negara Arab, melainkan negara Madinah, yaitu negara yang berdiri di atas peradaban umat manusia yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, kesejahteraan, keadilan, demokrasi, pluralisme, toleransi, dan sebagainya. Oleh karena itu bagi NU, NKRI, Pancasila, UUD 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika itu sudah final.
Sejak dulu, NU tidak pernah berkeinginan menjadikan Indonesia sebagai Darul Islam, tetapi Darus-Salam (negara damai, sejahtera). Bukti sejarahnya, lebih dari 2000 pesantren di bawah naungan NU tidak satu pun santrinya yang terlibat gerakan teroris.
Kenapa NU lebih memilih dan memperjuangkan Darussalam (negara bangsa yang damai), bukan kekhilafahan atau negara Islam?
Mengapa NU juga lebih membela dan mengedepankan negara yang Aman, daripada mengutamakan Iman?
Jawabnya karena NU menyadari bahwa bangsa Indonesia ini majemuk, tidak semua elemen setuju dengan konsep negara Islam. NU memandang bahwa NKRI dan Pancasila adalah pilihan terbaik dan paling maslahah untuk keutuhan bangsa ini, dan terbuka kebebasan umat Islam dalam menjalankan ajarannya. Selain itu, dalam konteks dakwah, Islam lebih berpotensi besar membumikan nilai-nilai ajarannya di seluruh aspek kehidupan dan pelosok bangsa ini, daripada memaksakan mendirikan negara Islam yang berpotensi akan memecah belah bangsa ini sehingga pada akhirnya tidak tenang dalam melaksanakan ibadah dan ajaran Islam tidak semakin membumi di Nusantara ini.
Karena keamanan suatu negara dapat menguatkan rasa keimanan seseorang. Bila negara aman dan damai maka dalam beribadah pun seseorang akan menjadi lebih tenang.
“Al-Aman qoblal Iman, Aman dulu baru iman.”
Negara-negara di jazirah Arab yang identik disebut dengan negara Islam memiliki ulama yang hebat-hebat, tapi negaranya terus dilanda konflik dan peperangan. Para ulama di sana tidak mampu meredam konflik yang berkepanjangan. Sementara di Indonesia yang memiliki bermacam-macam agama dan suku bangsa malah dapat hidup dengan aman dan damai.
Kenapa aman? Karena di Indonesia lebih mementingkan semangat kebangsaan dan rasa mencintai tanah air. Datangnya Islam di Nusantara yang dibawa oleh para Walisongo tidak pernah mengubah atau meminggirkan budaya asli Nusantara, sehingga Islam dapat diterima dengan mudah tanpa adanya konflik dan pertumpahan darah. Jadi jangan kaget ada istilah Islam Nusantara, yang mana itu bukan madzhab, bukan aliran. Islam Nusantara adalah ciri ke-Nusantara-an. Islam yang mementingkan negara yang aman dan tidak bertentangan dengan syariah.
Mengapa NU tidak latah teriak Takbir di setiap saat dan di sembarang tempat?
Karena NU tidak mau zhalim, menempatkan sesuatu yang sakral di tempat yang tidak semestinya. Jika itu terjadi, akhirnya ucapan Takbir menjadi menakutkan. Diteriakkan untuk memvonis orang lain yang berbeda pandangan menjadi halal darahnya untuk ditumpahkan darahnya. Dipakai untuk melibas yang berlainan keyakinan, digunakan untuk membenarkan tindakan apapun termasuk membully atau memfitnah pihak lain. Takbir diklaim hanya milik mereka, seolah mereka mewakili kemurkaan Allah, padahal Allah gak ada urusannya dengan kemarahan dan ketersinggungan kalian.
Salah satu sesepuh NU, yakni Gus Mus pernah berkata; “disangkanya kalau kalian marah, terus Allah yang al-Rahman dan al-Rahim itu juga pasti marah?”
Allah Maha Besar itu tidak menakutkan. Allah Maha Besar itu mengayomi semuanya di dalam kemahabesaranNYA. Allah Maha Besar itu memberi hak hidup dan rejeki bahkan kepada mereka yang menentangNYA. Allah Maha Besar itu tidak terhina sedikitpun jikalau semua penduduk dunia melecehkanNYA. Tidak berkurang kadar keagunganNYA sedikitpun walau tak ada satupun makhluk di dunia ini yang mau menyembahNYA.
Maka siapa pun yang mengucap Takbir, sejatinya dia akan merunduk dan merendahkan diriNYA di depan kemahabesaran Allah. Yang mengucapkan Takbir dia akan merangkul semua makhluk ciptaan Allah. Yang ber-takbir akan mengakui bukan kita yang menentukan nasib sesama, tapi hanya Allah!
Kita seringkali melihat fenomena orang yang sering teriak takbir di jalan-jalan, di forum-forum pertemuan, bahkan takbir sering menjadi ungkapan kebencian. Lantas timbul pertanyaan ; mengapa sekarang banyak orang boros takbir? Sedikit-sedikit takbir. Kalau kiai-kiai dulu, takbir itu ya hanya waktu sholat atau wiridan. Kalau dalam fiqih, orang yang mengulang-ulang perbuatan yang sama namanya orang was-was. Jika ada orang yang takbiratul ihram dalam sholat selalu diulang karena dia ragu apakah takbiratul ihram-nya sudah sah atau belum, maka di dalam fiqih, orang yang was-was seperti itu dekat dengan setan, sehingga harus dijauhi.
Sehingga Gus Yusuf Chudlori pernah menyindir mereka yang suka teriak takbir yang membabi-buta. “Jangan-jangan orang yang suka takbir di jalan-jalan itu adalah orang yang was-was dan dekat dengan setan?”
Lihatlah betapa sederhananya cara beragama kiai pesantren. Mereka tidak gila simbol Islam, tidak boros takbir. Cara beragama yang sederhana ini pelan-pelan mulai redup diganti dengan beragama yang latah dan suka hiruk pikuk yang menakut-nakuti. Rahmatan Lil 'Alamin (rahmah bagi seluruh alam) tergantikan Rahmatan Lil Muslimin (rahmah bagi kaum muslim) bahkan Rahmatan Lil Firqatin (rahmah bagi golongan/kelompok).
Dari analisa di atas, yang menarik untuk diungkap adalah bahwa dalam konteks beragama dan bernegara NU terbukti berhasil dan selalu konsisten menunjukkan konsep agama dan negara tidak saling menegasikan, bahkan spirit agama mampu diterjemahkan untuk mengisi anasir-anasir kebangsaan agar terwujud kehidupan umat yang damai dan beradab. Siapapun penghuni Indonesia diayomi selama tidak mengganggu ketentraman dan persatuan bangsa. Sebaliknya, barangsiapa yang mengancam NKRI, apapun agama dan sukunya, pasti berhadapan dengan NU. Karena NU bukan memusuhi agama ataupun suku bangsa, tetapi memusuhi kelompok atau gerakan yang mengganggu Pancasila dan NKRI.
Islam Ahlus-Sunnah Wal-Jama'ah An-Nahdliyah alias NU (Nahdlatul Ulama) adalah batang tubuh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Membayangkan berdirinya NKRI dengan melupakan Aswaja NU adalah hal mustahil.
Para pendiri NU dan juga para pendiri negeri ini adalah orang yang sama. Dalam pandangan mereka, ke-Indonesia-an tidaklah bertentangan dengan ke-Islam-an, malah mereka lebih tegas menetapkan bahwa mendirikan NKRI adalah salah satu kewajiban dalam membela dan menegakkan syari'at agama.
Jangan heran, jargon “NKRI Harga Mati” selalu membahana dalam setiap perkumpulan dan kaderisasi di NU dan seluruh banomnya. Hal ini menandakan adanya ikatan batin yang sangat kuat pada setiap warga NU terutama kader dengan kewajibannya mempertahankan negara adalah sebagai kewajiban agama.
Negara akan tetap tegak bukan hanya semata-mata bertumpu melalui aparat-aparat formal, tapi negara akan lebih kokoh berdiri karena adanya “aparat-aparat” ideologi. Nah, posisi NU berperan sebagai ideolog dan menempatkan seluruh kadernya di garda depan sebagai “aparatur ideologi negara”.
Seumpama perangkat komputer, maka NU memposisikan Aswaja sebagai software dari komputer yang bernama NKRI. Hal ini terbukti dalam rentang sejarah panjang negeri ini, NU melalui pemahaman Aswaja an-nahdliyah selalu memberikan solusi atas kebuntuan-kebuntuan sejarah yang dialami bangsa ini.
Artinya basis teologis Aswaja an-nahdliyah yang dijadikan pegangan NU telah teruji dan terbukti sebagai benteng utama dalam mengawal kedaulatan negara.
Sebuah ajaran teologi akan memiliki nilai fungsional, manakala mampu menapakkan kakinya dalam latar sejarah sosial. Paham Aswaja an-nahdliyah sebagai manhaj al-fikr, metodologi yang “berkaki”, menempatkan Islam bukan hanya teks suci yang melayang di atas langit, namun mampu bersenyawa dengan realitas sosial-kemanusiaan.
Penegasan posisi syar'i-nya NKRI, menandakan bahwa dialog teks dengan realitas sosial adalah sebuah keniscayaan. NKRI sebagai sebuah realitas sejarah yang dinamis tentu juga membutuhkan perangkat-perangkat yang mampu merespon setiap tantangan yang ada. Jargon NKRI Harga Mati, dalam satu tarikan napas itu pula hadirnya daya kekuatan untuk merespon setiap tantangan yang dihadapi oleh NKRI.
Meski NU sadar dalam perjalanan sejarah mengawal bangsa ini NU selalu diposisikan sebagai spesialis pemain di babak penyisihan dan semi final, dan saat final selalu tidak dilibatkan. Sehingga NU secara praktis seringkali tidak diikutkan dalam menikmati hasil perjuangannya. Hal ini bisa kita baca dalam sejarah proses yang melibatkan tokoh-tokoh NU dalam ikut merumuskan bentuk negara Indonesia baik di BPUPKI maupun PPKI, pasca perjuangan para santri dan ulama dengan resolusi jihadnya, perjuangan era 1965-an saat NU berada di garda terdepan menumpas PKI, ataupun saat reformasi begitu besar peran NU, namun selalu ditinggal dalam mengisi pos-pos strategi pemerintahan. Namun, itu tidak masalah bagi NU, karena perjuangan NU lebih diorientasikan untuk kebaikan umat, tidak melulu mencari pamrih kekuasaan.
Sebagai garda terdepan dalam ideologi, NU seakan sendirian mengawal keutuhan bangsa, sementara yang lain masih belum selesai dalam merumuskan hubungan agama dan negara, juga beberapa organisasi keagamaan tidak peduli bahkan beberapa dari mereka bersikeras berusaha merubah ideologi Pancasila dan NKRI.
Kenapa NU bersikap begitu? Jawabnya karena NU dengan mengimplementasikan nilai-nilai Islam Ahlussunnah waljamaah ikut berproses mendirikan bangsa dan negara Indonesia, suatu Darussalam (negara yang damai), yang ber-Bhinneka Tunggal Ika berasaskan pada Pancasila.
Abdir Rahman
Tanah Rantau, 11 Mei 2019. 06.00 WITA
0 komentar:
Posting Komentar