Pengaruh Partai Politik Pada Dewan Perwakilan Rakyat dalam Menentukan
Hakim Konstitusi di Indonesia
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sosiologi Politik
Yang dibina oleh Bapak Petir Pudjantoro
Oleh
Chamim Asma’ul Chusna
120711400062
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN HUKUM DAN
KEWARGANEGARAAN
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
Desember 2013
DAFTAR
ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………………………….…….
i
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG …..…………………………………………....………
1
I.2 RUMUSAN MASALAH ..……………………………………….……...
….. 2
I.3 TUJUAN
…………………………………………….……………………..... 2
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 HAKIM …………………….……………………………………………...…3
II.2 HUBUNGAN PARTAI POLITIK DAN
HAKIM ………………..…….…… 6
II.3 ANTISIPASI
MASUKNYA PENGARUH PARPOL KEDALAM HAKIM ... 9
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
………………………………………………..……..…… 14
III.2 SARAN ………………………………………………………………..…..
14
DAFTAR RUJUKAN
………………………………………………………….. 15
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Esensi keberadaan mahkamah
konstitusi yang berfungsi peradilan adalah untuk menerapkan prinsip keabsahan
substansial sebagai alat penyelesaian permasalahan hukum ketatanegaraan guna
mendorong perwujudan konstitusionalisme Negara Hukum Republik Indonesia. Melalui
salah satu cara, yaitu adanya kualitas putusan Mahkamah Konstitusi yang
berwibawa. Kualitas putusan Mahkamah Konstitusi relatif bergantung pada
kapasitas dan kapabilitas hakim konstitusi dalam menerapkan prinsip keabsahan
substansial dan prosedural pada setiap pemeriksaan, pengujian, dan penilaian di
persidangan Mahkamah Konstitusi.Kualitas itu sendiri bersumber dari hakim
konstitusi. Dengan demikian, adalah kualitas hakim konstitusi berawal dari
adanya proses pengisian jabatan hakim konstitusi yang meliputi hal mengenai
persyaratan, pemilihan, dan pengangkatan hakim konstitusi.
Hakim yang terdapat dalam Mahkamah
Konstitusi menurut UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, hakim
konstitusi yang berjumlah sembilan orang, tiga berasal dari utusan MA, dan tiga
lagi atas usulan Presiden serta terdapat tiga hakim lagi yang berlatar belakang
dari partai politikatau atas usulan DPR. Memang hakim yang berasal dari partai
politik rentan sekali dimasuki kepentingan-kepentingan politik.Tidak mudah bagi
hakim konstitusi untuk memainkan keadilan dimuka peradilan, jika yang bertikai
itu berasal dari partai politiknya sendiri.Jika hakim
konstitusi merupakan aktivis atau pengurus partai politik, maka akan lebih
mengedepankan kepentingan partai ketimbang kepentingan negara.
Dari
paparan diatas perlu dikaji mengenai kriteria apa saja yang harus diperlukan
untuk menjadi hakim konstitusi, hubungan hakim konstitusi dengan partai
politik, serta solusi apa saja yang diperlukan dalam upaya meminimalkan
penyelewengan terhadap perilaku hakim konstitusi.
I.2 RUMUSAN MASALAH
1.
Kriteria
apa saja yang harus melekat kuat pada hakim konstitusi?
2.
Apa
saja masalah yang pernah terjadi mengenai perilaku hakim kostitusi yang berasal
dari partai politik?
3.
Apa
saja solusi yang perlu diberikan guna meminimalkan perilaku hakim konstitusi yang
menyeleweng?
I.3 TUJUAN
1.
Mendiskripsikan
kriteria yang harus ada pada seorang hakim konstitusi.
2.
Mendiskripsikan
permasalahan yang sering terjadi pada hakim konstitusidari partai politik.
3.
Mendiskripsikan
solusi apa saja yang diperlukan dalam meminimalkan penyelewengan atas perilaku
hakim konstitusi.
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 HAKIM
Hakim adalah pejabat peradilan Negara
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili
.Mengadili
adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan
perkara….
.menurut
A. Ridwan Halim dalam Dulay (2006
: 12-13) menyatakan:
Pengadilan sebagai penyelenggara atau
pelaksana fungsi peradilan memiliki misi utama dalam mengupayakan serta
menjamin agar peradilan dapat mencapai serta mencerminkan:
1. Keadilan, merupakan keserasian dari:
(i) kepastian hukum dan kesebandingan hukum, (ii) proteksi, (iii) penggunaan
hak dan pelaksanaan kewajiban.
2. Kewibawaan, merupakan keserasian
antara ketaatan hukum dan keluwesan hukum.
3. Perkembangan hukum, keserasian antara
modernisasi dan pemugaran hukum.
4. Efisiensi dan efektivitas hukum,
merupakan keserasian antara modernisasi hukum dan diferensiasi hukum.
5. Kesejahteraan masyarakat merupakan keserasian
antara kebendaan dankeakhlakan.
Hakim sebagai fungsionaris
pengadilan dalam menyelesaikan atau mengakhri suatu perkara dengan
setepat-tepatnya maka terlebih dahulu harus mengetahui secaraobjektiftentang
duduk perkara yang sebenarnya yaitu sebagai dasar dalam memberikan putusan.
a. Kode Etik Hakim
Berdasarkan wewenang
dan tugasnya sebagai pelaku
utama fungsi pengadilan, maka sikap hakim yang
dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari, dan tirta itu
merupakan cerminan perilaku hakim yang
harus senantiasa diimplementasikan dan direalisasikan oleh semua hakim
dalam sikap dan perilaku hakim yang berlandaskan pada prinsip Ketuhanan
Yang Maha Esa, adil, bijaksana dan berwibawa, berbudi luhur, dan jujur.
Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsip-prinsip kode etik
dan pedoman perilaku hakim ini bermakna pengamalan tingkah laku sesuai agama
dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ini akan mampu mendorong hakim untuk
berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai ajaran dan tuntunan agama dan
kepercayaan yang dianutnya.
Kewajiban hakim untuk memelihara kehormatan dan
keluhuran martabat, serta perilaku hakim sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan harus diimplementasikan secara konkrit dan konsisten baik
dalam menjalankan tugas yudisialnya maupun di luar tugas yudisialnya, sebab hal
itu berkaitan erat dengan upaya penegakan hukum dan keadilan. Kehormatan adalah
kemuliaan atau nama baik yang senantiasa harus dijaga dan dipertahankan dengan
sebaik-baiknya oleh para hakim dalam menjalankan fungsi pengadilan. Kehormatan
hakim itu terutama terlihat pada putusan yang dibuatnya, dan pertimbangan yang
melandasi, atau keseluruhan proses
pengambilan keputusan yang
bukan saja berlandaskan peraturan perundang-undangan,
tetapi juga rasa keadilan dan kearifan dalam masyarakat. Sebagaimana
halnya kehormatan, keluhuran martabat merupakan tingkat harkat
kemanusiaan atau harga diri yang mulia yang sepatutnya tidak hanya
dimiliki, tetapi harus dijaga dan dipertahankan oleh hakim melalui sikap tindak
atau perilaku yang berbudi pekerti luhur. Hanya dengan sikap tindak atau
perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah kehormatan dan keluhuran martabat
hakim dapat dijaga dan ditegakkan.Kehormatan dan keluhuran martabat berkaitan
erat dengan etika perilaku.Etika adalah kumpulan azas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak mengenai benar dan salah yang dianut satu golongan atau
masyarakat. Perilakudapat diartikan sebagai tanggapan atas reaksi individu yang
terwujud dalam gerakan (sikap) dan ucapan yang sesuai dengan apa yang dianggap
pantas oleh kaidah- kaidah hukum yang berlaku. Etika berperilaku adalah sikap
dan perilaku yang didasarkan kepada kematangan jiwa yang diselaraskan dengan
norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat.
Implementasi terhadap kode etik dan pedoman
perilaku hakim dapat
menimbulkan kepercayaan, atau
ketidak-percayaan masyarakat kepada putusan pengadilan. Oleh sebab itu, hakim
dituntut untuk selalu berperilaku yang berbudi pekerti luhur. Hakim yang
berbudi pekerti luhur dapat menunjukkan bahwa profesi hakim adalah suatu
kemuliaan (officium nobile).
Profesi hakim memiliki sistem etika yang mampu
menciptakan disiplin tata kerja dan menyediakan garis batas tata nilai yang
dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk menyelesaikan tugasnya dalam
menjalankan fungsi dan mengemban profesinya. Kode Etik dan Pedoman Perilaku
Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi hakim, baik dalam menjalankan
tugas profesinya maupun dalam hubungan kemasyarakatan di luar
kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban
moral untuk berinteraksi dengan komunitas
sosialnya, juga terikat dengan norma – norma etika dan adaptasi kebiasaan
yang berlaku dalam tata pergaulan
masyarakat. Namun demikian,
untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan
tidak memihak, diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi
Hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu,
menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi
jaminan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan,
termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun
demikian, meskipun kondisi-kondisi di atas belum sepenuhnya terwujud, hal
tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh
pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga
hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat.
Mengenai hakim konstitusi,
ia juga harus memenuhi segala macam peratuan-peraturan atau kode etik hakim
yang ada diatas, sehingga jabatan sebagai hakim ia tidak hanya dijadikan
penentu keadilan belaka, namun lebih dari itu. Membekas dalam hati, perkataan
maupun dalam perbuatan.
b.
Hakim konstitusi
Dalam PERPPU No. 1 Tahun 2013 Pasal 15
yang sebelumnya tertuang dalam hal itu tidak jauh berbeda esensinya yang
sebelumnya UU No. 24 tahun 2003 yang isinya. Adapun isi dari PERPPU No. 1 Tahun 2013:
(1) Hakim
konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela;
b. adil; dan
c. negarawan
yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.
(2) Untuk
dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus
memenuhi syarat:
a. warga
negara Indonesia;
b. berijazah
doktor dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
c. bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d. berusia
paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh
lima) tahun pada saat pengangkatan;
e. mampu
secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;
f. tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
g. tidak
sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
h. mempunyai
pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun; dan
i. tidak
menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh)
tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi.
(3) Selain
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) calon hakim
konstitusi juga harus memenuhi kelengkapan administrasi dengan menyerahkan:
a. surat
pernyataan kesediaan untuk menjadi hakim konstitusi;
b. daftar
riwayat hidup;
c. menyerahkan
fotokopi ijazah yang telah dilegalisasi dengan menunjukkan ijazah asli;
d. laporan
daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon yang disertai dengan
dokumen pendukung yang sah dan telah mendapat pengesahan dari lembaga yang
berwenang; dan
e. nomor
pokok wajib pajak (NPWP); dan
f. surat
pernyataan tidak menjadi anggota partai politik.
II.2 PARTAI POLITIK DAN
HAKIM KONSTITUSI
Baru-baru ini perilaku hakim yang
tersangka korupsi menghenyakkan banyak pihak, alih-alih ketua Mahkamah
Konstitusi sendiri.Mahkamah Konstitusi sebagai benteng konstitusi tertinggi di
Indonesia maka tidaklah salah pernyataan yang dilontarkan oleh Ahok ‘’lengkaplah
penderitaan rakyat….tiada lembaga negara yang terbebas dari korupsi’’
.Rakyat
dijadikan korban kesewenang-wenangan penguasa.Terlebih lagi perlaku itu
dilakukan ketuanya sendiri.Hal itulah menjadikan banyak masyarakat yang luntur
kepercayaan terhadap Mahkamah Konstitusi.
Menurut DPR dan instansi terkait yang
menentukan hakim konstitusi bisa belajar dari Mahkamah Konstitusi (MK)
Thailand. Setiap calon hakim konstitusi yang berlatarbelakang aktivitas parpol
harus non-aktif dari partainya minimum tiga sampai lima tahun sebelum
mencalonkan sebagai hakim konstitusi. Tujuannya, agar politisi Thailand yang
menjadi hakim konstitusi bisa independen, tidak terkait dengan partainya.
Sementara kasus Akil Mochtar yang
ditangkap KPK, Rabu (2/10/13) menjadikan MK terbebani meskipun sejauh ini hanya
satu orang hakim konstitusi saja yang terlibat korupsi.Menurut kompas ‘’Penelitian Lingkaran
Survei Indonesia menunjukkan kepercayaan masyarakat kepada MK kini berada di
titik nadir yaitu di bawah 30 persen’’.yang selama ini dipercaya sebagai lembaga yang bersih
ternyata juga tidak luput dari korupsi. Namun MK tidak sepenuhnya hancur citranya, karena
hakim lain masih dipercaya memiliki integritas, MK harus bersusah payah dan
kerja keras untuk memperbaiki citra dan memulihkan kepercayaan masyarakat.
Menurut Direktur Pusat
Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM Zainal Arifin Mochtar
;
‘’Partai politik dalam mempengaruhi perilaku hakim sangat kental, hal ini
dijumpai pada kasus tersebut.Akil Mochtar yang berasal dari politisi partai
Golkar, Sebelum menjadi hakim konstitusi, Akil tercatat sebagai politisi asal
Partai Golkar.Saat ini, di jajaran hakim konstitusi, ada dua hakim yang
berlatarbelakang politisi.Mereka adalah Patrialias Akbar yang berasal dari
Partai Amanat Nasional dan Hamdan Zoelva dari Partai Bulan Bintang. Keraguan
atas independensi hakim berlatarbelakang politisi sempat mencuat, meski mereka
menjamin akan independen dan telah melepas baju partainya’’.
Seperti diberitakan,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan terhadap
Ketua MK Akil Mocktar, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Chairun Nisa, dan seorang
pengusaha berinisial CN pada Rabu (2/10/2013) malam di rumah dinas Akil,
Kompleks Widya Chandra. KPK juga turut menyita sejumlah uang dollar Singapura
senilai Rp 2-3 miliar yang diberikan Chairun Nisa dengan CN kepada Akil
Mochtar.Uang itu diduga terkait sengketa Pilkada Gunung Mas, Kalimatan Tengah.Sehingga
majelis Kehormatan MK memutuskan Akil melanggar kode etik dan memberhentikan
Akil secara tidak hormat.
Dalam konteks Indonesia, berdasarkan
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,hakim konstitusi yang
berjumlah sembilan orang, terdapat tiga hakim yang berlatar belakang dari
partai politik.Dalam pemilihan hakim kostitusi agar DPR mempertimbangkan ulang
pasal yang mengatur tentang hakim konstitusi dari elemen partai politik.Hakim
konstitusi berbeda dengan politisi, tugasnya menguji undang-undang, sengketa
pemilu dan penafsiran hukum, sepenuhnya berkaitan dengan hukum, tidak
menyangkut politik.Tugas hakim konstitusi berkaitan masalah hukum kenegaraan,
ini sangat penting dan berat, sehingga Presiden, MA, dan DPR
mengubah tradisinya dalam menyeleksi
calon hakim konstitusi.
Pemerintah perlu adanya pembenahan dalam pemilihan
hakim konstitusi dan jangan sampai itu berlanjut, dari kasus akil banyak menuai
banyak kritik yang dilontarkan oleh beberapa ahli seperti Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun
, Aktivis Hukum,
Alexius Tantrajaya.
Memang tidak mudah jika seorang hakim konstitusi
berasal dari parpol dalam menyelesaikan permasalahan dari parpolnya sendiri. Maka
seorang hakim harus lah kuat menahan godaan. Selanjutnya jika merujuk pada
paparan diatas perlu adanya pembenahan dalam penentuan hakim konstitusi jangan
sampai orang-orang politik masuk di dalam mahkamah konstitusi. Jika politisi
masuk tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misal:
korupsi, mementingkan partainya.
II.3 ANTISIPASI MASUKNYA PENGARUH
PARPOL KEDALAMHAKIM
Termuat jelas bahwa wewenang yang diemban
oleh Mahkamah Konstitusi yang terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945,
yaitu:
a. Memutus
pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
b. Memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannyadiberikan oleh
Undang-Undang Dasar;
c. Memutus
pembubaran partai politik; dan
d. Memutus
perselisihan hasil Pemilu.
Dari empat wewenang itu kebanyakan
yang bersinggungan langsung atau lebih dekat dengan partai politik adalah butir
‘’c’’ dan ‘’d’’.Guna menjaga, memelihara, dan meningkatkan integritas
pribadi, kompetensi dan perilaku hakim konstitusi perlu dirumuskan dan disusun
kode etik dan perilaku, sebagai pedoman bagi hakim konstitusi dan tolok ukur
untuk menilai perilaku hakim konstitusi secara terukur dan terus menerus.Untuk
itu, melalui Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 09/PMK/2006 ditetapkan
Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik Dan Perilaku Hakim Konstitusi.
Mahkamah konstitusi
dalam menjalankan tugasnya dalam peradilan memiliki dua prinsip pokok, yaitu: the principle of judicial independence, dan
the principle of judicial impartiality.
Kedua prinsip ini diakui sebagai prasyarat pokok sistem di semua negara yang
disebut hukum modern atau modern
constitutional state. Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus
diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara yang
dihadapinya. Di samping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai
pengaturan mengenai hal-hal pengangkatan, masa kerja, penembangan karier,
sistem penggajian, dan pemberhentian para hakim.
Prinsip yang kedua
yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakan (the principle of impartiality). Bahkan menurut O. Hood Phillips dan
kawan-kawan, dalam Asshiddiqie (2011: 317) mengatakan, ‘’ the impartiality of the judiciary is recognized as an important, if not
the most important element, in the administration of justice’’. Dalam
praktik ketidakberpihakan itu sendiri mengandung makna dibutuhkannya hakim yang
tidak saja bekerja secara imparsial (to
be impartiality), tetapi juga terlihat bekerja secara imparsial (to appear impartiality).
Di samping kedua
prinsip sebut, dari perspektif hakim sendiri berkembang pula pemikiran mengenai
prinsip-prinsip lain yang dianggap penting. Misalnya “The Bangalore Principles’’, yang memuat enam ketetapan bagi seorang
hakim. Antara lain: prinsip independensi
(independence), ketakberpihakan (impartiality),
integritas (integrity), kepantasan
dan kesopanan (propriety), kesetaraan
(equality), kecakapan dan keseksamaan
(competence and diligence), serta
nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, yaitu prinsip kearifan dan
kebijaksanaan (wisdom) sebagai kode
etik hakim konstitusi beserta penerapannya, digunakan sebagai rujukan dan tolok
ukur dalam menilai perilaku hakim konstitusi, guna mengedepankan kejujuran,
amanah, keteladanan, kekesatriaan, sportivitas, kedisiplinan, kerja keras,
kemandirian, rasa malu, tanggung jawab, kehormatan, serta martabat diri sebagai
hakim konstitusi.
Hakim konstitusi ialah seseorang yang memangku
jabatan hakim pada Mahkamah konstitusi yang bertugas memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara yang menjadi kewenangan dan kewajiban MK sebagaimana
diamanatkan oleh UUD 1945. Selama menjadi hakim konstitusi perilaku hakim harus
mencerminkan kode etik, dalam IKAHI
(2009: 1) telah disebutkan prinsip-prinsip daasar kode etik tersebut.
Prinsip-prinsip
dasar kode etik dan pedoman perilaku hakim diimplementasikan
dalam 10 (sepuluh) aturan perilaku sebagai berikut :
(1) berperilaku adil; (6) bertanggung jawab;
(2) berperilaku jujur; (7) menjunjung tinggi harga diri;
(3) berperilaku arif dan
bijaksana; (8) berdisplin tinggi;
(4) bersikap mandiri; (9) berperilaku rendah hati;
(5) berintegritas tinggi; (10) bersikap
profesional.
Dari prinsip pokok, prinsip dalam the bangalore principles, dan kode etik
kehakiman diatas dijalankan dengan baik dan berusaha
untuk mengamalkan sepenuh hati. Maka tidaklah dijumpai pelanggaran-pelanggaran
moral, yang baru-baru ini terjadi.
Menurut PERATURAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/PMK/2003
Mahkamah Konstitusi juga disebutkan dalam BAB I IKODE
ETIK HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI, yaitu;
Pasal 2 Hakim
Konstitusi :
1.
Menjunjung
tinggi dan mematuhi sumpah jabatan yang telah diucapkan,serta melaksanakan
tugas dengan jujur dan adil, penuh pengabdian dan
penuh rasa tanggung jawab kepada diri sendiri,
masyarakat, bangsa,negara, dan Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Menjauhkan
diri dari perbuatan tercela dan menjaga wibawa selakunegarawan pengawal
konstitusi, yang bebas dari pengaruh manapun(independen), arif dan bijaksana,
serta tidak memihak (imparsial) dalammenegakkan hukum dan keadilan.
3. Memperdalam dan memperluas penguasaan ilmupengetahuan,
khususnya yang berkaitan dengan tugassebagai Hakim Konstitusi, untuk digunakan
dalam prosespenyelesaian perkara dengan setepat-tepatnya dan
seadiladilnyasesuai dengan kewenangan dan kewajiban yangdiamanatkan oleh
Undang-Undang Dasar Negara RepublikIndonesia Tahun 1945.
Sementara itu ada agenda yang
sedang digembar-gemborkan oleh MK terkait pembentukan Dewan Etik Hakim
Konstitusi.Ada banyak pandangan pro dan kontra mengenai itu.Seperti halnya pengacara
Robikin Emhas menilai pembentukan Dewan Etik Hakim Konstitusi oleh Mahkamah
Konstitusi merupakan terobosan hukum yang dapat dipahami."Dalam masa
transisi pascaditerbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2013 tentang MK, dan sebelum
tuntasnya perumusan kode etik oleh MK dan KY, hemat saya Dewan Etik yang
dibentuk MK merupakan terobosan hukum yang dapat dipahami," kata Robikin
Emhas. Ia
mengatakan pembentukan Dewan Etik
juga sekaligus memenuhi perintah pembentuk undang-undang yang mengamatkan hal
itu, serta menjadi bagian dari kehendak publik, termasuk para pencari keadilan
dalam sengketa konstitusional, yang direspon secara baik oleh MK.
Untuk menegakkan kode etik dan perilaku hakim
tersebut, Mahkamah Konstitusi menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 10/PMK/2006 tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah majelis kehormatan Hakim
Konstitusi sebagai alat kelengkapan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23 Ayat (5) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Majelis Kehormatan tersebut bersifat ad hoc. Majelis
Kehormatan Mahkamah Konstitusi beranggotakan lima orang, yang terdiri atas dua
orang berasal dari Hakim Panel Etik ditambah tiga orang, masing-masing seorang
guru besar senior dalam ilmu hukum, seorang mantan Hakim Agung atau mantan Hakim
Konstitusi, serta seorang mantan pimpinan lembaga tinggi negara. Majelis
Kehormatan berwenang memeriksa dan mengambil keputusan yang berisi rekomendasi
penjatuhan sanksi terhadap dugaan pelanggaran atau rekomendasi tentang
pemulihan nama baik hakim terlapor.
Panel Etik yang dimaksud adalah bentukan Mahkamah
Konstitusi yang terdiri atas tiga orang anggota berasal dari Hakim Konstitusi
untuk memeriksa laporan dan/atau informasi pelanggaran Kode Etik dan Perilaku
Hakim Konstitusi, serta memberikan rekomendasi berdasarkan kesimpulan hasil
pemeriksaan dan tindak lanjut yang harus diambil oleh Mahkamah. Panel Etik
berwenang mengambil keputusan berupa perlunya pemeriksaan lanjutan dan/atau
mengambil keputusan berupa rekomendasi penjatuhan sanksi terhadap pelanggaran
ringan kepada Mahkamah.
Atas pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi, masyarakat dapat menyampaikan laporan yang disampaikan langsung
kepada Mahkamah Konstitusi atau melalui Kotak Pos 999 Jakarta 10000.Laporan
tersebut harus memuat identitas pelapor, hakim terlapor, dan dugaan pelanggaran
yang dilakukan oleh hakim terlapor yang diuraikan secara lengkap dan rinci,
serta dilampiri dengan bukti-bukti pendukung. Informasi tentang adanya dugaan
pelanggaran kode etik dan perilaku hakim juga dapat diperoleh dari pemberitaan
media massa baik cetak maupun elektronik.
Sanksi pelanggaran dapat berupa Teguran tertulis atau
Pemberhentian.Teguran tertulis oleh Ketua Mahkamah dapat berupa Teguran
tertulis yang disampaikan kepada hakim terlapor dengan tembusan kepada hakim
lainnya; atau Teguran tertulis yang disampaikan kepada hakim terlapor dengan
tembusan kepada hakim lainnya dan diumumkan kepada masyarakat.Sedangkan
Pemberhentian oleh Presiden dapat berupa Pemberhentian dengan hormat atau
Pemberhentian dengan tidak hormat.
Jadi dalam
rangka meminimalkan penyelewengan yang dilakukan hakim konstitusi ada bermacam-macam
upaya, baik yang dilakukan oleh pihak yang berwenang, seperti KY, majelis
kehormatan Mahkamah Konstitusi, pemberian batasan-batasan perilaku hakim
(termuat dalam kode etik hakim konstitusi), upaya oleh masyarakat dengan
memberikan laporan yang
disampaikan langsung kepada Mahkamah Konstitusi melalui surat, dan lain
sebagainya. Hal tersebut diupayakan jangan sampai perilaku hakim memihak pada
parpol yang membawanya, ataupun keinginannya sendiri (seperti korupsi untuk
kepentingannya sendiri atu golongan).
BAB III
PENUTUP
III.1 KESIMPULAN
Keberadaan mahkamah
konstitusi memberikan konsekuensi bagi Hakim Konstitusi dalam menjalankan
tugasnya harus professional dan memiliki komitmen kuat dalam keadilan dihadapan
Tuhan Yang Maha Esa.Memang jabatan seorang hakim kostitusi dinilai tidak ringan
karena tidak sedikit adanya tekanan dari partai politik yang mengusungnya atau
saat ia mendapatkan iming-iming uang. Maka seorang hakim harus memenuhi prinsip
yang harus dimiliki hakim konstitusi: integritas, independensi,
ketakberpihakan, kepantasan dan kesopanan, kesetaraan, kecakapan dan kesamaan
harus melekat padanya.
Memang
tidak mudah jika seorang hakim konstitusi berasal dari parpol dalam
menyelesaikan permasalahan dari parpolnya sendiri. Maka seorang hakim harus lah
kuat menahan godaan. Selanjutnya jika merujuk pada paparan diatas perlu adanya
pembenahan dalam penentuan hakim konstitusi jangan sampai orang-orang politik
masuk di dalam mahkamah konstitusi. Jika politisi masuk tidak menutup
kemungkinan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, misal:korupsi kolusi
nepotisme (KKN) atupun kepentingan lainnya.
Sementara
itu upaya yang dilakukan
hakim konstitusi ada bermacam-macam: baik yang dilakukan oleh pihak yang
berwenang, seperti KY, majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi, pemberian
batasan-batasan perilaku hakim (termuat dalam kode etik hakim konstitusi),
upaya oleh masyarakat dengan memberikan laporan yang disampaikan langsung kepada Mahkamah Konstitusi melalui
surat.
III.2 SARAN
Saran yang perlu
disampaikan menurut kesimpulan diatas Dewan Etik Mahkamah Konstitusi harus secepatnya
dibentuk, serta harus ada kontrol dari masyarakat yang aktif terhadap Mahkamah
Konstitusi denganmenyampaikan laporan yang disampaikan langsung kepada
Mahkamah Konstitusi atau melalui Kotak Pos 999 Jakarta 10000.
DAFTAR RUJUKAN
Parhulutan Daulay, Ikhsan,
Rosyada. 2006. Mahkamah Konstitusi
Memahami Keberadaanya Dalam System Ketatanegaraan Republik Indonesia.
Jakarta. PT. Rineka Cipta.
Undang-Undang No. 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
PERPPU No. 1 Tahun 2013 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang No. 8 tahu
1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Peraturan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia Nomor02/PMK/2003.
____, Kedudukan, kewenangan, Mahkamah Konstitusi Rpublik
Indonesia. (Online),
http//kedudukan, kewenangan, mahkamah konstitusi republik Indonesia.htm.
Diakses Kamis, 21 Nopember 2013.
____, Lingkar studi Hukum dan Perkembangan Sosial Kode
Etik dan Perilaku HakimKonstitusi.(Online), http//lingkar studi hukum dan perkembangan
social kode etik dan
perilaku hakim konstitusi.htm. Diakses Kamis, 21 Nopember 2013
Antara news (Online),http//perilaku
hakim/Kontroversi pembentukan dewan etik hakim konstitusi - ANTARA News.htm.
Diakses Kamis, 21 Nopember 2013.
Vivanews.Lengkaplah Penderitaan Rakyat. (Online),
http//lengkaplah penderitaan rakyat.htm. Diakses Jumat, 25 Oktober 2013.
1.
Memiliki
intergritas dan kepribadian tidak tercela;
2.
Adil; dan
3. Negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Selanjutnya dalam pasal 16 UU serupa, syarat bagi calon
hakim konstitusi dapat diangkat menjadi hakim konstitusi harus memenuhi:
1.
Warga Negara
Indonesia;
2.
Berpendidikan
sarjana hukum;
3.
Berusia
sekurang-kurangnya 40 (empat puluh) tahun pada saat pengangkatan;
4.
Tidak pernah
dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
5.
Tidak sedang
dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; dan
6.
Mempunyai pengalaman
kerja dibidang hukum sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun.
Selain itu dalam pasal
17 UU serupa, menyebutkan hakim konstitusi dilarangan merangkap:
a.
Pejabat negara
lainnya;
b.
Anggota partai
politik;
c.
Pengusaha;
d.
Advokat;
e.
Pegawai negeri.
KOMPAS.com, Kamis, 3 Oktober 2013 | 10:39 WIB Hilangkan
"Tradisi" Hakim Konstitusi dari Partai Politik!