Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *


  • Kesemestaan

    “Allah masih mencintai anda jika masih banyak cobaan dan tantangan hidup yang datang menghampiri anda. Allah percaya bahwa anda mampu melaluinya, maka jagalah kepercayaan itu”

  • Soul, Heart, Mind

    “Realitas kehidupan Anda adalah deskripsi dari jiwa dan pikiran anda”

  • Traveler

    “Pergilah sejauh mungkin dan ketika anda tiba di sana anda akan melihat lebih jauh lagi”

Minggu, 01 September 2019

Pertanyaan Kubur

MENEMANI MAYAT SELAMA 40 HARI

Alkisah seorang Konglomerat yang sangat kaya raya menulis surat wasiat: "Barang siapa yang mau menemaniku selama 40 hari di dalam kubur setelah aku mati nanti, akan aku beri warisan separuh dari harta peninggalanku."

Lalu ditanyakanlah hal itu kepada anak-anaknya apakah mereka sanggup menjaganya di dalam kubur nanti.
Tapi anak-anaknya menjawab, "Mana mungkin kami sanggup menjaga ayah, karena pada saat itu ayah sudah menjadi mayat."

Keesokan harinya, dipanggillah semua adik-adiknya. Dan beliau kembali bertanya, “Adik-adikku, sanggupkah diantara kalian menemaniku di dalam kubur selama 40 hari setelah aku mati nanti? Aku akan memberi setengah dari hartaku!"

Adik-adiknya pun menjawab, “Apakah engkau sudah gila? Mana mungkin ada orang yang sanggup bersama mayat selama itu di dalam tanah.”

Lalu dengan sedih Konglomerat tadi memanggil ajudannya, untuk mengumumkan penawaran istimewanya itu ke se antero negeri.

Akhirnya, sampai jugalah pada hari di mana Konglomerat tersebut kembali ke Rahmatullah. Kuburnya dihias megah laksana sebuah peristirahatan termewah dengan semua perlengkapannya.

Pada waktu yang hampir bersamaan, seorang Tukang Kayu yang sangat miskin mendengar pengumuman wasiat tersebut. Lalu Tukang Kayu tersebut dengan tergesa-gesa segera datang ke rumah Konglomerat tersebut untuk memberitahukan kepada ahli waris akan kesanggupannya.

Keesokan harinya dikebumikanlah jenazah Sang Konglomerat. Si Tukang Kayu pun ikut turun ke dalam liang lahat sambil membawa Kapaknya. Yang paling berharga dimiliki si Tukang Kayu hanya Kapak, untuk bekerja mencari nafkah.

Setelah tujuh langkah para pengantar jenazah meninggalkan area pemakaman, datanglah Malaikat Mungkar dan Nakir ke dalam kubur tersebut.

Si Tukang kayu menyadari siapa yang datang, ia segera agak menjauh dari mayat Konglomerat. Di benaknya, sudah tiba saatnya lah si Konglomerat akan diinterogasi oleh Malaikat Mungkar dan Nakir.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya, Malaikat Mungkar-Nakir malah menuju ke arahnya dan bertanya, "Apa yang kau lakukan di sini?"

Aku menemani mayat ini selama 40 hari untuk mendapatkan setengah dari harta warisannya", jawab si Tukang kayu.

Apa saja harta yang kau miliki?", tanya Mungkar-Nakir.
"Hartaku cuma Kapak ini saja, untuk mencari rezeki", jawab si Tukang Kayu.

Kemudian Mungkar-Nakir bertanya lagi, "Dari mana kau dapatkan Kapakmu ini?"
"Aku membelinya", balas si Tukang Kayu.
Lalu pergilah Mungkar dan Nakir dari dalam kubur tersebut.

Besok di hari kedua, mereka datang lagi dan bertanya, "Apa saja yang kau lakukan dengan Kapakmu?"
"Aku menebang pohon untuk dijadikan kayu bakar, lalu aku jual ke pasar", jawab tukang kayu.

Di hari ketiga ditanya lagi, "Pohon siapa yang kau tebang dengan Kapakmu ini?"
"Pohon itu tumbuh di hutan belantara, jadi ngak ada yang punya", jawab si Tukang Kayu.
"Apa kau yakin?", lanjut Malaikat.
Kemudian mereka menghilang.

Datang lagi di hari ke empat, bertanya lagi "Adakah kau potong pohon-pohon tersebut dengan Kapak ini sesuai ukurannya dan beratnya yang sama untuk dijual?"
"Aku potong dikira-kira saja, mana mungkin ukurannya bisa sama rata", tegas tukang kayu.

Begitu terus yang dilakukan Malaikat Mungkar Nakir, datang dan pergi sampai tak terasa sekarang 39 hari sudah. Dan yang ditanyakan masih berkisar dengan Kapak tersebut.

Di hari terakhir yang ke 40, datanglah Mungkar dan Nakir sekali lagi bertemu dengan Tukang kayu tersebut. Berkata Mungkar dan Nakir, "Hari ini kami akan kembali bertanya soal Kapakmu ini".

Belum sempat Mungkar-Nakir melanjutkan pertanyaannya, si Tukang kayu tersebut segera melarikan diri ke atas dan membuka pintu kubur tersebut. Ternyata di luar sudah banyak orang yang menantikan kehadirannya untuk keluar dari kubur tersebut.

Si Tukang Kayu dengan tergesa-gesa keluar dan lari meninggalkan mereka sambil berteriak, "Kalian ambil saja semua bagian harta warisan ini, karena aku sudah tidak menginginkannya lagi."

Sesampai di rumah, si Tukang Kayu berkata kepada istrinya, "Aku sudah tidak menginginkan separuh harta warisan dari mayat itu. Di dunia ini harta yang kumiliki padahal cuma satu Kapak ini, tapi Malaikat Mungkar-Nakir selama 40 hari yang mereka tanyakan dan persoalkan masih saja di seputar Kapak ini. Bagaimana jadinya kalau hartaku begitu banyak? Entah berapa lama dan bagaimana aku menjawabnya."
------
Dari Ibnu Mas’ud RA dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, "Tidak akan bergerak tapak kaki anak Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara, yaitu umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan kemana dibelanjakannya, ilmunya sejauh mana diamalkan?" (HR. Turmudzi)

Rasulullah S.A.W bersabda :"Barang siapa yang menyampaikan 1 (satu) ilmu saja dan ada orang yang mengamalkannya,maka walaupun yang menyampaikan sudah tiada (meninggal dunia), dia akan tetap memperoleh pahala." (HR. Al-Bukhari)

Kalaulah sempat

REALITA .....
BJ HABIBIE
Ternyata kembali ke nol .... tidak ada yang dapat  dibanggakan.... dulu bangga dengan jabatan apa itu Nakhoda apa itu KKM apa itu Direktur apa itu Bos perusahaan  besar     ......... busiiiit semua 🤭🤭🤭😭😭😭😭😭😭.                             

Ungkapan Hati BJ Habibie soal akhirat  yang bikin merinding
8 Jan 2019

NONSTOPNEWS.ID - Pidato BJ Habibie viral. Mantan Presiden RI ini menuliskan tentang kisah hidupnya.

SAAT KEMATIAN ITU KIAN DEKAT.

KALAULAH SEMPAT ? Renungan utk kita semua !!!!
--------------------( by BJ Habibie ketika berpidato di Kairo, beliau berpesan "Saya diberikan kenikmatan oleh Allah ilmu technology sehingga saya bisa membuat pesawat terbang, tapi sekarang saya tahu bahwa ilmu agama itu lebih bermanfaat untuk umat .Kalo saya disuruh memilih antara keduanya maka saya akan memilih ilmu Agama." )

Sepi penghuni...
Istri sudah meninggal... 
Tangan menggigil karena lemah...
Penyakit menggerogoti sejak lama...
Duduk tak enak, berjalan pun tak nyaman... Untunglah seorang kerabat jauh mau tinggal bersama menemani beserta seorang pembantu...

Tiga anak, semuanya sukses... berpendidikan tinggi sampai ke luar negeri...
» Ada yang sekarang berkarir di luar negeri... »
Ada yang bekerja di perusahaan asing dengan posisi tinggi... »
Dan ada pula yang jadi pengusaha ...

Soal Ekonomi, saya angkat dua jempol » semuanya kaya raya...

Namun....
Saat tua seperti ini dia "merasa hampa", ada "pilu mendesak" disudut hatinya..

Tidur tak nyaman...
Dia berjalan memandangi foto-foto masa lalunya ketika masih perkasa & enegik yg penuh kenangan

Di rumah yang besar dia merasa kesepian, tiada suara anak, cucu, hanya detak jam dinding yang berbunyi teratur...

Punggungnya terasa sakit, sesekali air liurnya keluar dari mulutnya....
Dari sudut mata ada air yang menetes.. rindu dikunjungi anak-anak nya

Tapi semua anak nya sibuk dan tinggal jauh di kota atau negara lain...
Ingin pergi ke tempat ibadah namun badan tak mampu berjalan....

Sudah terlanjur melemah...

Begitu lama waktu ini bergerak, tatapannya hampa, jiwanya kosong, hanya gelisah yang menyeruak...
sepanjang waktu ....  

Laki-laki renta itu, barangkali adalah Saya... atau barangkali adalah Anda yang membaca tulisan ini suatu saat nanti_
Hanya menunggu sesuatu yg tak pasti...
yang pasti hanyalah KEMATIAN.
Rumah besar tak mampu lagi menyenangkan hatinya..._
Anak sukses tak mampu lagi menyejukkan rumah mewahnya yang ber AC...
Cucu-cucu yang hanya seperti orang asing bila datang..._
Asset-asset produktif yang terus menghasilkan, entah untuk siapa .?

Kira-kira jika malaikat "datang menjemput", akan seperti apakah kematian nya nanti.

Siapa yang akan memandikan ?

Dimana akan dikuburkan ??

Sempatkah anak kesayangan dan menjadi kebanggaannya datang mengurus jenazah dan menguburkan?

Apa amal yang akan dibawa ke akhirat nanti?
Rumah akan di tinggal, asset juga akan di tinggal pula...
Anak-anak entah apakah akan ingat berdoa untuk kita atau tidak ???
Sedang ibadah mereka sendiri saja belum tentu dikerjakan ???
Apa lagi jika anak tak sempat dididik sesuai tuntunan agama???  Ilmu agama hanya sebagai sisipan saja..._

"Kalau lah sempat" menyumbang yang cukup berarti di tempat ibadah, Rumah Yatim, Panti Asuhan atau ke tempat-tempat di jalan Allah yang lainnya...

"Kalau lah sempat" dahulu membeli sayur dan melebihkan uang pada nenek tua yang selalu datang...... 

"Kalau lah sempat" memberikan sandal untuk disumbangkan ke tempat ibadah agar dipakai oleh orang yang memerlukan..... 

"Kalau lah sempat" membelikan buah buat tetangga, kenalan, kerabat, dan handai taulan...

Kalau lah kita tidak kikir kepada sesama, mungkin itu semua akan menjadi "Amal Penolong" nya ...

Kalaulah dahulu anak disiapkan menjadi 'Orang yang shaleh', dan 'Ilmu Agama' nya lebih diutamakan

Ibadah sedekahnya di bimbing/diajarkan & diperhatikan, maka mungkin senantiasa akan 'Terbangun Malam', 'meneteskan air mata' mendoakan orang tuanya.

Kalaulah sempat membagi ilmu dengan ikhlas pada orang sehingga bermanfaat bagi sesama...

"KALAULAH SEMPAT"

Mengapa kalau sempat ?
Mengapa itu semua tidak jadi perhatian utama kita ?  Sungguh kita tidak adil pada diri sendiri.  Kenapa kita tidak lebih serius?
Menyiapkan 'bekal' untuk menghadap-Nya dan 'Mempertanggung Jawabkan kepadaNya?
Jangan terbuai dengan 'Kehidupan Dunia' yang  bisa  melalaikan.....

Kita boleh saja giat berusaha di dunia....tapi jadikan itu untuk bekal kita pada perjalanan panjang & kekal di akhir hidup kita.

( bagi yang  menyebarkan catatan ini semoga menjadi sodaqoh ilmu & ladang amal Shaleh)_

Teruslah menjadi  "si penabur  kebajikan" selama hayat masih dikandung badan meski hanya sepotong pesan.

Semoga Bermanfaat...🙏

Prof. Dr. Ing. BJ. Habibie

Kuhselingkuh

Selingkuh

"Maa ... Papa mau berangkat ke Singapur, ada kerjaan penting di sana. Tolong siapkan pakaian, dong!" seru Dino pada istrinya yang baru aja menikmati kasur. Seharian si istri menjelajahi setiap sudut rumah dan melayani anak-anaknya.

"Beres, Pa. Berapa lama?" tanya Popi, akhir-akhir ini suaminya sering sekali bepergian atau lembur dengan alasan pekerjaan. Sekarang saja, Dino baru pulang dari kantor, jam 21.00 begini. Kebiasaan yang mulai aneh, tetapi Popi santai saja.

"Yaa, gak lama, lah. Cuma empat hari," ungkap Dino meyakinkan. Dia yakin, istrinya tak akan mengendus perselingkuhannya dengan sang sekretaris cantik.

"Tapi, empat hari itu lama, loh, Pa ... Mama bisa kesepian gak ada Papa," ucap Popi dengan wajah yang berubah sendu, walaupun dia merasa tak repot mengurus anak-anak dan meng-handle semua urusan keluarga mereka.

"Mau gimana lagi, Ma. Kalau Papa gak pergi, bisa-bisa bisnis kita hancur. Kamu mau Papa bangkrut? Nanti siapa yang bayarin sekolah anak-anak," ujar Dino gak kalah memelas. Dia sangat paham dengan karakter Popi yang lembut dan tak tegaan.

"Uhm, ya udah. Mama ikhlas Papa pergi," kata Popi seraya bangkit dari ranjang, duduk memandang tajam pada suaminya.

"Makasih, Sayang," ujar Dino penuh kemesraan seraya menghampiri dan mencium kening istrinya. Dalam hatinya riang bukan kepalang, punya istri penurut, setengah bodoh.

"Papa mandi dulu, nanti Mama siapkan makan di dapur." Popi tak melirik Dino. Barang-barang untuk dibawa ke Singapura belum dibereskan, langkahnya buru-buru ke dapur.

Dino terhenyak, bagaimana caranya bisa makan lagi, sebab tadi sudah habis-habisan makan bersama selingkuhan. Namun, kalau tak dipenuhi, bisa bahaya. Pikirannya kalut, seperti membongkar benang yang kusut.

"Mama masakkan rendang, kesukaan Papa," Popi sudah datang dengan sepiring nasi lengkap lauk-pauk dan segelas air, ke dalam kamar. Dino menelan ludah melihat porsi makan dalam piring.

"Pa ... Mama butuh persetujuan Papa untuk kebutuhan anak-anak sekolah. Pengeluaran buat mereka semakin banyak saja," curhat Popi sambil menyuapi suaminya makan.

"Nanti Papa tandatangani," sahut Dino sebal di sela-sela mengunyah nasi. Ini salah satu yang membuat dia malas bicara dengan Popi. Selalu membahas masalah anak-anak. Padahal, kan, dia bisa selesaikan sendiri. Dari dulu, setiap ingin menarik uang dalam jumlah besar selalu meminta persetujuan. 

"Papa memang terbaik," puji Popi untuk suaminya. Dia cukup senang mendengar jawaban suami, juga ketika beberapa suapan darinya sudah masuk ke dalam perut Dino.

"Udahan, Ma. Papa udah kenyang," kata Dino pada Popi yang hendak menyuapkan nasi kembali. Terlihat kecewa di wajah istrinya, tetapi dia benar-benar tak sanggup lagi. Perut terasa penuh, bisa-bisa muntah bila dipaksakan lagi.

Setelah meneguk minum, dia menikmati tontonan menarik di televisi. Lama-lama mata pun terpejam. Entah mengapa kantuk menguasai mata.

"Pa, ini suratnya, tandatangai." Popi datang membangunkan Dino yang baru saja tertidur.

"Apalagi, sih, Ma?!" bentak Dino pada istrinya, marah karena terganggu tidur. Sungguh, Popi berbeda jauh dengan sekretaris pujaan hati yang pandai membawa diri. Paham betul dengan dirinya.

"Tandatangani surat persetujuannya, Pa." Popi mengecup pipi Dino lembut, meskipun hatinya meringis ketika melihat suaminya mulai berani membentak, padahal dulu tak pernah begitu.

Dino menandatangani surat persetujuan yang dimaksud dalam keadaan setengah sadar, lalu melanjutkan tidur. Sementara Popi, masih berkemas-kemas memasukkan barang ke dalam koper.
***

"Papa hati-hati di Singapur, ya! Jaga diri biar tetap sehat," ucap Popi yang sedih akan berpisah dengan suaminya.

"Mama juga, jaga diri dan anak-anak. Papa akan pulang secepatnya," ujar Dino seraya menarik tangan Popi dan mengelusnya.

"Mbak Ica, tolong jaga suami saya," pesan Popi pada sekretaris yang menemani suaminya pergi.

"Amaan, Bu. Saya akan selalu mendampingi Bapak apapun yang terjadi," kata Ica dengan nada yang menggetarkan hati Popi. Dipandanginya perempuan itu sejenak, lalu tersenyum.

Dino dan Ica melambaikan tangan ketika masuk ke area penumpang tujuan luar negeri. Sementara Popi membalas dengan lemah, meskipun perih dalam hati. Istri mana yang bisa santai melihat suami pergi berduaan dengan wanita lain, walaupun dengan embel-embel dinas atau pekerjaan?
***

Tiba di Singapura, Dino dan Ica akan membooking sebuah kamar di hotel mewah. Dino mencari kartu ATM dan kartu kredit yang biasa digunakan, tetapi tidak ketemu. Dengan penuh amarah, dia menelepon sang istri.

"Halo! Ma, kamu itu gimana, sih? ATM dan kartu kredit Papa, kok, gak ada di dompet?" cecar Dino pada Popi. Perempuan yang baru saja memarkir kendaraan di tepi jalan terkejut diberondong beberapa pertanyaan sekaligus.

"Aduh, maaf, Pa. Mama lihat tadi dompet Papa sempat dimainkan anak-anak."

"Lalu, Papa musti gimana selama di Singapura?" marahnya Dino sudah sampai ke ubun-ubun. Dia sangat teledor, karena tak mengecek seluruh kartu yang ada di dompet sebelum pergi. Hanya memastikan pasport tidak tertinggal.

"Tolong beri teleponnya ke Ica, Pa. Mama mau ngomong sebentar. Biar Mama minta tolong ke dia dulu," bujuk Popi, dia harus membuang malu untuk hal ini.

"Iya, Bu," sapa Ica lembut. Suaranya memang mendayu-dayu.

"Ica, saya minta tolong, keperluan selama dua hari di Singapura ditalangi dulu. Saya akan ke bank, mencairkan uang, tapi belum bisa sekarang. Saya harus mengurus pekerjaan rumah dan anak-anak dulu. Kamu tenang saja, nanti uangnya dikirim ke rekening kamu. Saya ganti lebih banyak. Tapi, kalau kamu gak punya uang, terpaksa kalian pulang dulu," jelas Popi pada Ica.

"Kalau cuma dua hari, saya bisa, Bu." Buru-buru Ica mengungkap kesediaannya. Sayang banget kalau harus cabut dari Singapura secepat ini. Toh, dia cuma meminjamkan sementara. Istri goblok seperti Popi tentu tak berani ingkar janji. Bisa mati dia kalau diceraikan Dino.

Telepon dimatikan, Popi melanjutkan perjalanan kembali. Tiba di rumah dia segera menyelesaikan berbagai urusan.

Dino dan Ica bersenang-senang di luar negeri. Dino sama sekali tak mengingat anak dan istri, serta keluarga besarnya. Begitu pun Ica, lupa pesan kedua orang tuanya. Apalagi Tuhan, sudah tak ada dalam hati nurani. Hidup gemerlapan, menikmati yang tak seharusnya.
***

Dua hari kemudian, Dino mencoba menelepon Popi, tetapi tidak diangkat. Berkali-kali panggilan ditolak. Tak sabar, dikirimnya pesan bernada marah luar biasa.

[Dasar wanita tak tahu diuntung! Cepat kirim uang ke rekening Ica sesuai janjimu! Kalau tidak, kau akan menyesal saat kuceraikan!]

Pesan tidak dibaca. Aneh, tak seperti biasanya. Dalam amarah, terselip kekhawatiran dalam hati Dino. Jangan-jangan Popi bunuh diri karena tahu dia berselingkuh. Dimintanya Ica yang menghubungi Popi, tetapi juga tidak diangkat. Perempuan itu panik, uang yang ada di tabungannya telah terkuras. Akan menjadi semakin gawat kalau Popi tak segera mentransfer uang.

[Bu, saya mohon transferkan uang segera.]

Pesan yang terkirim tak satupun yang dibalas. Dino menelepon tetangga rumahnya untuk melihat kondisi Popi dan memberitahu informasi padanya sesegera mungkin.

"Halo, Mas Dino," jawab tetangganya ketika Dino kembali menelepon. Dia sudah melihat keadaan Popi dan rumahnya.

"Apa Mas sudah bertemu Popi?" tanya Dino pada tetangganya. Berharap perempuan itu baik-baik saja dan segera mentransfer uang untuknya.

"Iya, Mas. Barusan, sebelum Mbak Popinya permisi pergi," sahut tetangganya.

"Pergi ke mana, Mas?" selidik Dino.

"Katanya Mas Dino sudah kawin lagi, jadi dia dan anak-anak pindah. Rumah sudah dijual murah sama preman pasar," urai tetangga Dino.

Dino terdiam, sesaat kemudian masuk sebuah pesan.

[Terima kasih karena telah menyetujui perceraian kita. Rumah beserta isinya kujual murah dengan Pak Kosim, preman pasar. ATM kamu juga sudah aku kuras. Semua demi sekolah dan masa depan anak-anakmu. Dari aku wanita tak tahu diuntung]

Dino pucat, apalagi saat Popi mengirim dokumen yang ditandatangani olehnya. Memang, dia bisa saja menggugat rumah yang terlanjur dijual, tetapi bagaimana menghadapi Pak Kosim? Ica mendekati Dino dengan ekspresi penuh kecemasan.

"Mas, ada apa?" desak Ica. Tak lama, sebuah pesan juga masuk ke HPnya.

[Dik Ica, kamu bilang akan menjaga suami saya dan apapun yang terjadi tetap bersamanya. Sekarang nikmatilah. Aku tak akan mengganti uangmu sepeserpun. Dari aku, wanita bodoh.]

Setelah itu,  Popi membuang kartu selular miliknya. Dia sudah bertekat untuk pergi sejauh mungkin. Sakit hatinya terbayar lunas. Perselingkuhan sudah lama tercium dan ini bukan kali pertama dia dikhianati. Selama ini sudah berusaha bersabar demi anak-anaknya. Sekarang, tiada ampun. Perbuatan jahat tak perlu refleks direspon. Perlu strategi dan taktik yang jitu agar tak menyesal.

Note:
Ini cerpen, tidak ada lanjutannya.

Sumber gambar: kompasiana.com

Upaya Memutilasi Indonesia Dari Papua

Upaya Memutilasi Indonesia Dari Papua
Oleh : Varhan Abdul Aziz
(Alumni Magister Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia)

Tiga kejadian besar mengenai Papua terjadi dalam waktu yang berdekatan. Peristiwa Asrama Papua di Surabaya, Kerusuhan Manokwari, Hingga Insiden Yang Menggugurkan 1 TNI dan 2 Warga Sipil di Deiyai.Anehnya semua berlangsung cepat. Seperti dikoordinir dengan sistematis. Di Deiyai kemarin 1/2 Jam setelah kejadian, Kantor Berita Reuters yang berpusat di London membuat berita yang menyatakan 6 warga sipil tewas di tangan aparat. Padahal Hoax. Yang sebenarnya terjadi 1 TNI gugur dipanah di kepala dengan beberapa tancapan bambu panah. Melihat fotonya membuat geram, abdi negara dianiaya, gugur dalam tugas oleh sesama saudara sebangsanya di papua.

Tidak ada yang bersuara, mana Komnas HAM yang biasa jadi kompor saat ada sipil wafat?  Mana LSM yg biasa semangat koar2 ketika sipil yang jadi korban?

"Tidak ada yang kebetulan dalam politik. Kalau ada yang kebetulan, berarti itu telah direncanakan!"
- Franklin D Roosvelt, Presiden Amerika ke 36-

Mengetahui pemberitaanya hoax, Reuters langsung mengubah judul beritanya kemarin malam.  Tapi tetap saja tendensius, sudut pandangnya menyalahkan Aparat. "Shooting at protest in Indonesia's Papua, police say three dead". Judulnya diubah, hoaxnya sudah terlanjur tersebar. Mereka Minta maaf? Tidak!

Sekarang apa tujuan kantor berita asing membuat berita dengan nada mengadu domba, kalau bukan karena tujuan propaganda?  Media yang jauh di London, lebih cepat memberitakan daripada Tempo atau Kompas yang ada di Jakarta. Aneh.

Pasti ada Insentif yang didapatkan dari pihak berkepentingan. Tujuannya  Apa? Disintegrasi Indonesia. Indonesia mau dimutilasi dimulai dari Papua!

Benar saja, hasil gorengan di Deiyai ini, mem-blow up isu *Referendum*. Bahkan, berdasarkan info Kapendam Cendrawasih, aksi di kantor bupati Deiyai ini,karena masa minta Bupati menyetujui referendum, namun Bupati tidak mau,  maka masa lain mulai berdatangan memanah Aparat yang tak bersenjata. Mereka diperintah untuk persuasif, hasilnya, pembantaian  aparat yang menjaga keamanan.

Aneh ya kedengaranya?  Tapi nyata,  karena aparatnya berniat baik tidak mau menyakiti rakyatnya,sedang  rakyatnya malah membunuh aparatnya. Serda Rikson Prajurit Kodam II Sriwijaya, jauh ia pergi dari Sumatera menjalankan tugas negara, gugur mengenaskan dipanah di Papua. Melihat fotonya saat terpanah, sungguh biadab para pelakunya.

Ingat Referendum Timor Timur yang akhirnya lepas dari Indonesia? Bagaimana Timor Leste hari ini? Silahkan di Cek Sendiri, kepentingan asing sangat terasa pasca memisahkan diri dari Indonesia.

Belajar dari pengalaman Timor Timur,  pemerintah sdh seharusnya takkan pernah menurut pada upaya disintegrasi bangsa. Pada kasus Timor Timur, Mayoritas Rakyat menginginkan tetap bersama NKRI. Namun fakta di TPS, Timor Timur Pisah.

Apapun kecurangan yang mungkin terjadi saat itu, salah satunya, banyaknya warga yg tidak bisa menyuarakan pendapatnya, menjadi pelajaran besar bangsa ini,  untuk tetap menjaga kedaulatannya dengan tidak menuruti isu2 referendum.

"Sejengkal Tanahpun Takkan Kita Serahkan Pada Lawan, Tapi Akan Kita Pertahankan Habis - Habisan!"

Quotes Jenderal Sudirman diatas, harusnya menyadarkan seluruh Bangsa Indonesia,  untuk memberikan dukungan kepada Papua. Menyemangati mereka untuk cinta pada Tanah Airnya Indonesia.

Betapa kuatnya persaudaraan kita, hingga orang sumatra yang lebih mirip orang malaysia,  namun merasa lebih dekat persaudarnya kepada Papua. Meski beda karakter fisik dan budaya,  namun dipersatukan dalam satu kata *INDONESIA*.

Kita tidak ingin seperti Soviet yang terpecah menjadi 15 negara. atau mengulang sejarah negara2 boneka bentukan Belanda dalam Republik Indonesia Serikat. Indonesia memiliki hak penuh mempertahankan Negaranya.  Tidak ada satupun orang,organisasi atau negara lain yang boleh mendikte apa yang harus Indonesia lakukan untuk menjaga keutuhan negaranya.

Amerika pasti takkan mau kalau Hawai atau San Fransisco menyatakan referendum pemisahan diri bukan?  Atau Inggris takan mau bila Scotlandia pisah dari Great Britain? Begitupun negara Cina sedemikian represifnya mempertahankan mempertahankan Provinsi Xinjiang agar tidak lepas dari kekuasaan mereka.

Papua diselamatkan NKRI dengan harga nyawa yang tidak murah. Operasi Trikora,  Pertempuran Laut Aru Yang Menenggelamkan KRI macan kumbang,  hingga gugurnya komondor Yos Sudarso yang menggelorakan pertempuran habis2an, harusnya menjadi hikmah yang meneguhkan sikap kita.

Ingatlah jasa para veteran Operasi Amfibi terbesar di Indonesia dalam operasi Jaya Wijaya yang melibatkan 1000 wahana tempur dan 16000 Pasukan TNI yang siap membela Papua kedalam pelukan NKRI.  Sedemikian kuatnya naluri perjuangan Indonesia sebagai bangsa Merdeka,  membuat Belanda saat itu akhirnya melepas Papua menjadi Indonesia Seutuhnya.

Jangan sampai tangis air mata veteran operasi seroja Timor Timur, terulang kembali membasahi tanah Indonesia karena lepasnya papua. Jangan sampai anak cucu kita membaca buku sejarah di sekolah,tentang pernah adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpecah menjadi negara2 kecil di masa depan nanti.

Kita tentunya tak mau,  warga Jakarta Pergi Ke Jawa Timur dengan stempel Passport di perbatasan. Atau Orang sunda yang harus mengurus Visa saat masuk ke Kalimantan. Maka bersatulah, berikan dukungan persatuan Indonesia d,engan pandangan positif untuk Indonesia dalam menjaga Papua di media sosial.

Kita yang ingin tetap dapat bergerak bebas dari ujung Sabang  sampai Merauke sebagai seorang Indonesia.

Papua Adalah Kunci..

RAK MUTU

1606 PARENTING RAK MUTU
Saya diundang ke acara seminar pola-asuh (parenting) di sebuah Sekolah Dasar. Temanya 'Mendidik Siswa Milenial'. Acaranya jam 9, tapi saya datang terlambat, jam 10 lebih. Saya masuk dari belakang dan duduk di bangku paling belakang, agar tidak mengganggu acara.

Saya menyimak sebentar dan saya langsung tertarik. Pembicaranya seorang wanita, seorang doktor psikologi. Cara membawakannya santai, bahasanya ringan, dibumbui humor dan kisah lucu. Contoh yang diangkat dari peristiwa sehari-hari; kadang dari keluarganya sendiri, anak-anaknya, kadang dari tingkah polah anak didiknya, mahasiswanya.

Saya sangat suka saat ia menunjukkan sebuah tabel yang memetakan: kelompok usia anak, perkembangan mental di kelompok usia tertentu, siapa yang berperan, dan apa yang terjadi jika pendidikan berhasil.

Di tahap usia 0-3 tahun, anak belajar tentang rasa percaya vs rasa curiga, yang paling berperan dalam kelompok usia ini adalah Ibu, jika pendidikan berhasil, tahap ini menghasilkan rasa optimis.

Usia 3-5 tahun, anak belajar mandiri vs ragu-ragu, yang paling berperan adalah Ayah dan Ibu, hasil pendidikan di tahap ini adalah kontrol diri dan motivasi.

Usia 5-7 tahun; anak belajar insiatif vs rasa bersalah; yang berperan Ayah, Ibu, saudara; hasilnya perilaku yang mudah diarahkan.

Usia 7-12 tahun; anak belajar motivasi kuat vs rendah diri; yang berperan Ayah, Ibu, Guru, teman; hasilnya pandai mengelola konflik.

Usia 13-19 tahun; anak belajar identitas diri vs kabur; yang berperan orang dewasa dan sahabat; hasilnya setia, rasa sosial tinggi, stabil, tidak mudah terpengaruh.

Usia 20-30 tahun; anak belajar keakraban vs isolasi; yang berperan pasangan hidup; hasilnya cinta keluarga.

Menarik, bukan?

"Maaf, bukannya saya menganggap peran guru sama sekali tidak ada. Saya juga guru," ujar sang psikolog meneruskan paparannya. "Tapi fungsi orangtua, terutama Ayah, tak tergantikan, bahkan oleh seribu guru sekalipun."

Hmm. Orangtua, terutama Ayah, tak tergantikan seribu guru.

"Orangtua harus mau berkorban, mengasuh dan menjaga sepenuhnya hingga anak umur 12 tahun, hingga SD," imbuhnya dengan bersemangat.

Okay.

"Karena setelah itu peran teman dan guru mulai membesar..."

Menarik.

"Jadi kalau ada anak SMP atau SMA nakal atau berulah, jangan cuman panggil orangtuanya, percuma," ujar sang psikolog mantap. "Panggil siapa?"
Dan kami menjawab serentak, "Temannya..."
"Bener!" Sang psikolog manthuk. "Panggil temannya, sahabatnya, ajak mereka bicara untuk membantu..."

Hmm...

"Kalo mahasiswa saya ada yang bermasalah, malas kuliah misalnya," ujar sang psikolog. "Saya ndak mungkin panggil orangtuanya, siapa saya panggil...?"
Dan kami pun ber-koor, "Pacarnya!"
"Bener!" Sang psikolog menganggukkan kepala dengan mantap.

Saya terus menyimak.

Benar apa yang dipaparkan si pembicara, lingkungan yang berperan dalam pertumbuhan mental seorang anak berubah dari waktu ke waktu, sesuai tahapan usia. Awalnya orangtua, lalu keluarga, lalu guru, teman, dan terakhir pasangan hidup.

"Hampir semua anak selalu ngefans sama papanya." Si pembicara meneruskan paparannya.
"Mereka sangat kecewa saat papanya gagal memenuhi tiga kriteria utama seorang ayah. Apa saja itu?," tanya nya dengan nada memancing.

Apa, ya? Saya ndak tahu. Naga-naganya topik ini sudah dibahas sebelum saya datang..

Seorang guru mengacungkan jari.
"Ya, apa saja, Pak?" Si pembicara menuding si bapak guru yang kini berdiri.
"Mencari nafkah," jawab si bapak guru.
"Bener, mencari nafkah."
"Mendidik karakter..."
"Ya, bener, dan yang ke-tiga?"

"Umm..." Si bapak guru tidak segera menjawab.
Lho, kok ragu?

"Mencintai istrinya..."

Oalah.

Saya tersenyum. Mencari nafkah, mendidik karakter anak, mencintai istri; tiga kriteria utama seorang ayah, seorang suami. Adakah yang belum kita penuhi?

Saya banyak belajar hari ini.

"Dan yang terpenting dilakukan bukan 'quality time', tapi 'quantity'. Bukan kualitas tapi kuantitas..."

Maksudnya?

"Lha ndak mungkin tiap kali punya 'quality time'," imbuh si pembicara. "Mosok kita mau bilang gini sama anak, 'Ayo, cepet-cepet, kamu mau ngomong apa sama mama, curhat apa? Ayo cepet, ini mama sejam lagi ada seminar. Cepet, cepet, kita quality time'..."

HªHŪHÁª, kami ngakak. 'Quality time' tidak bisa dipaksa, disusu-susu, harus terjadi secara spontan, misterius, dan itu butuh waktu.

Kuantitas.

"Sama suami atau istri juga begitu. Mosok mau bilang, 'Ayo, Mah, kita quality time, yuk. Ngomong apa ya, enaknya?'..."
HªHŪHÁª, kalau diskenario atau dipaksakan, malah garing, mati gaya.

Bubar.

"Saat kita bisa ngomong, guyon, cerita hal-hal yang lucu, ndak mutu, ndak berkualitas, terus kita bisa tertawa bareng, ngakak bareng, itulah quality time, itulah kualitas," tandas sang psikolog.

Bener.

Saat omongan kita, diri kita tampil rak mutu, 'quality time' tercipta. Karena saat 'rak mutu' itulah kita tampil sebagai pribadi yang seutuhnya, tulus, ikhlas, apa adanya, tanpa tedeng aling-aling.

Itulah kualitas terbaik kita sebagai manusia.

Saya tersenyum. Saya jadi kangen mendengar Istri yang hampir tiap bangun pagi selalu bercerita tentang mimpinya yang rak mutu.

Agustus 2019

Suryanto halim

Kecerdasan anak

MAKNA KECERDASAN

Di papan tulis, saya menggambar sebatang pohon kelapa di tepi pantai, lalu sebutir kelapa yang jatuh dari tangkainya.
Lalu saya bercerita, ada 4 anak yg mengamati fenomena alam jatuhnya buah kelapa di tepi pantai itu.

® Anak ke 1 : Dengan cekatan dia mengambil secarik kertas, membuat bidang segi tiga, menentukan sudut, mengira berat kelapa, dan dengan rumus matematikanya anak ini menjelaskan hasil perhitungan ketinggian pohon kelapa, dan energi potensial yang dihasilkan dari kelapa yang jatuh
lengkap dengan persamaan matematika dan fisika.

Lalu saya bertanya kepada siswa saya : "Apakah anak ini cerdas?"
dijawab serentak sekelas : "iya... Dia anak yang cerdas." Lalu saya lanjutkan cerita ...

® Anak ke 2 : Dengan gesit anak kedua ini datang memungut kelapa yang jatuh dan bergegas membawanya ke pasar, lalu menawarkan ke pedagang dan dia : "bersorak ... yesss ... laku Rp 5.000"

Kembali saya bertanya ke anak-anak di kelas : "apakah anak ini cerdas?"
Anak-anak menjawab : "iyaa ... Dia anak yg cerdas."
Lalu saya lanjutkan cerita...

® Anak ke 3 : Dengan cekatan, dia ambil kelapanya kemudian dia bawa keliling sambil menanyakan, pohon kelapa itu milik siapa? Ini kelapanya jatuh, mau saya kembalikan kepada yang punya pohon.

Saya bertanya kepada anak-anak : "apakah anak ini cerdas?"
anak-anak dengan mantap menjawab : "Iya ... dia anak yang cerdas."
Sayapun melanjutkan cerita ke empat ...

® Anak ke 4 : Dengan cekatan, dia mengambil kelapanya kemudian dia
melihat ada seorang kakek yg tengah kepanasan dan berteduh di pinggir
jalan. "Kek, ini ada kelapa jatuh, tadi saya menemukannya, kakek boleh meminum dan memakan buah kelapanya".
Lalu saya bertanya : "apakah anak ini, anak yg cerdas?"
Anak-anak menjawab :"Iya ... dia anak yang cerdas."

Anak-anak menyakini bahwa semua cerita di atas menunjukkan anak yg cerdas. Mereka jujur mengakui bahwa setiap anak memiliki "Kecerdas-unikan-nya".
Dan mereka ingin dihargai *"Kecerdas-unikan-nya"* tersebut.

Namun yang sering terjadi, di dunia kita, dunia para orang tua dan pendidik, menilai kecerdasan anak hanya dari satu sisi, yakni ?

"Kecerdasan Anak Pertama, Kecerdasan Akademik", Lebih parahnya, kecerdasan yang dianggap oleh negara adalah kecerdasan anak pertama yang diukur dari nilai saat mengerjakan UN.

Sedang ...
"Kecerdasan Finansial" (anak no 2), "Kecerdasan Karakter" (anak no 3) dan "Kecerdasan Sosial" (anak no 4). Belum ada ruang yg diberikan Negara untuk mengakui kecerdasan mereka.

Anak Anda termasuk nomor berapa?
Saya jadi ingat, dulu sering kami jadikan olok-olokan saat SMA, antara anak IPA dan anak IPS, siapa yg sebenarnya cerdas? Bagaimana kira-kira perasaan buat anak IPS? Terkadang terasa diperlakukan jadi siswa yang terpinggirkan.... Duh menyedihkan...😥

Anak Anda semuanya adalah anak-anak yang cerdas dengan "Keunikan dan Kecerdasan-nya" masing-masing. Hargai dan jangan samakan dengan orang lain atau bahkan dengan diri Anda sendiri.

Mari hargai kecerdasan anak kita masing-masing, dan siapkan mereka dengan *4 kecerdasan* _(Akademik, Finansial, Karakter, dan Sosial)_ sebagai pedoman di mana mereka akan mengarungi lautan hidup kelak.
#Tiap_manusia lahir dengan kecerdasan dan keunikan masing-masing#🌟🌟🌟

Share by *KOMPPAK*
_*Komunitas Pecinta Pendidikan, Anak, dan Keluarga*_

#copas

POTRET NEGERI YANG KAYA ILMU SPIRITUAL TETAPI MISKIN PENCAPAIAN SPIRITUAL

POTRET NEGERI YANG KAYA ILMU SPIRITUAL
TETAPI MISKIN PENCAPAIAN SPIRITUAL

Kita sadar dan percaya, bahwa di bumi nusantara ini sangat kaya akan ilmu spiritual, tetapi ironisnya, banyak yang gagal dalam PENCAPAIAN spiritualitas. Orang bersemangat untuk memeluk agama, tetapi gagal dalam “menjadi’ agama itu.

Wajah negeri yg dahulu dicap sebagai negeri multi agama, multi etnis, multi kultur tetapi solid bersatu di atas slogan Bhineka Tunggal Ika karena rakyatnya memiliki watak toleransi. Negeri yang subur makmur gemah ripah loh jinawi. Lautan diumpamakan kolam susu, dan dikiaskan bahwa tongkat kayu pun dapat tumbuh karena saking suburnya tanah daratan. Hawanya sejuk, banyak hujan, kaya akan hutan belantara sebagai paru-paru dunia. Hampir tak ada bencana alam; tanah longsor, banjir, gempa bumi, angin lesus, kebakaran, kekeringan.

Tetapi realitasnya di masa kini sangat kontradiktif, justru kita semua sering menyaksikan di media masa maupun realitas obyektif sosial-politik sehari-hari. Negeri ini telah berubah karakter menjadi  negeri yang berwajah beringas, angker, berapi-api, anti toleran, waton gasak, nafsu menghancurkan dan bunuh, “semangat” menebar kebencian di mana-mana. Sangat disayangkan justru dilakukan oleh para sosok figur yang menyandang nama sebagai panutan masyarakat, pembela agama, dan juru dakwah yang memiliki banyak pengikut. Ini sungguh berbahaya, dapat membawa negeri ini ke ambang kehancuran fatal.  Alam pun turut bergolak seolah tidak terima diinjak-injak penghuninya yang hilang sifat manusianya. Sehingga bencana dan musibah datang silih berganti, tiada henti, bertubi-tubi membuat miris penghuni negeri ini.

Lantas di mana wajah negeri impian yg tentram, damai, subur, sejuk, makmur ? apakah ini sudah benar-benar hukuman atau bebendu dari Allah, sebagaimana sudah diperingatkan oleh para leluhur kita yg bijaksana dan waskita sejak masa silam ? masihkah kita akan mengingkari nasehat tersebut, dengan mengatasnamakan “kebenaran” maka serta merta menganggapnya sebagai “ramalan” yang tidak boleh dipercaya, karena dekat dengan syirik dan musyrik. Sikap seperti itu hanya menjauhkan kita dari watak arif dan bijaksana.

Musibah, bencana, wabah, dan seterusnya, tengah melanda negeri ini. Sudah selayaknya kita sadari semua ini sebagai hukuman, atau bebendu dari Tuhan. Anggapan demikian justru akan menambah kewaspadaan kita, dapat menjadi sarana instropeksi diri, dan otokritik yang bijak. Agar kita lebih pandai mensyukuri nikmat dan anugrah Tuhan. Sebaliknya anggapan bahwa ini semua sebagai COBAAN bagi keimanan kita merupakan pendapat yang terlalu NAIF, innocent. Kita sebagai makhluk ciptaan Tuhan menjadi ndableg, lancang, kurang waspada lan eling. Sejak kapan kita bisa mengukur keimanan kita ? parameter apa yg dipakai ? seberapa persen keimanan kita hanya dapat diukur dengan “perspektif” yang hanya Tuhan miliki. Kita menjadi sok tahu, teralu percaya diri dengan tingkat keimanan kita. Begitulah awalnya manusia menjadi keblinger. Selalu ingin mencari menangnya sendiri, mencari benernya sendiri, mencari butuhnya sendiri. Manusia seperti itu tidak menyadari sesungguhnya dirinya menyembah HAWA NAFSU. Itulah makna apa yang disebut PENYEKUTUAN TUHAN, yakni nuruti RAHSANING KAREP (nafsu). Merasa sudah tinggi ilmunya, padahal ilmunya tidak mumpuni. Ilmu Tuhan bukankah ibarat air laut yang mengisi seluruh samudra di jagad raya ini. Sedangkan ilmu manusia hanya setetes air laut. Dari setetes air laut itu, sudah seberapa persenkah yang kita miliki ?

PERTANYAAN IMAM JUNAID KEPADA ORANG YANG PULANG HAJI

PERTANYAAN IMAM JUNAID KEPADA ORANG YANG PULANG HAJI

Suatu ketika Imam Junaid al-Baghdadi mendapat kunjungan dari seseorang yg baru saja pulang menunaikan haji. Meski ritual haji telah ia jalani, orang ini belum menunjukkan perubahan perilaku apa2 dalam hidupnya.

“Dari mana Anda?” tanya Imam Junaid.
”Saya baru saja pulang dari ibadah haji ke Baitullah?” orang itu menimpali.

”Jadi, Anda benar2 telah melaksanakan ibadah haji?”
”Tentu, Imam. Saya telah menunaikan haji.”

”Apakah Anda sudah janji akan meninggalkan dosa2 Anda saat meninggalkan rumah untuk pergi haji?”
“Tidak, Imam. Saya tidak pernah memikirkan hal itu.”

“Anda sejatinya tak pernah melangkahkan kaki untuk haji,” tegas Imam Junaid. “Saat Anda berada dalam perjalanan suci dan berhenti di suatu tempat semalaman, apakah Anda memikirkan tentang usaha mencapai kedekatan dgn Allah?”

“Itu semua tak terlintas di benak saya.”
“Berarti Anda tidak pergi menuju Ka’bah, tidak pula pernah mengunjunginya.”

“Saat Anda mengenakan pakaian Ihram dan melepas semua pakaian yg biasa Anda kenakan, apakah Anda sudah berketetapan untuk membuang semua cara dan perilaku buruk Anda, menjadi pribadi lebih baik?” tanya Imam Junaid lagi.
“Tidak, Imam. Saya juga tak pernah berpikir demikian.”

“Berarti Anda tidak pernah mengenakan pakaian ihram,” Imam Junaid menyayangkan. ”Saat Anda Wuquf (berdiam diri) di padang Arafah dan bersimpuh memohon kepada Allah, apakah Anda merasakan bahwa Anda sedang wuquf dalam Kehadiran Ilahi dan menyaksikan-Nya?”
”Tidak. Saya tak mendapat pengalaman (spiritual) apa2.”

Imam Junaid sedikit kaget, ”Baiklah, saat Anda datang ke Muzdalifah, apakah Anda berjanji akan menyerahkan nafsu jasmaniah.
“Imam, saya pun tak memikirkan hal itu.”

“Berarti Anda sama sekali tak mengunjungi Muzdalifah.” Lantas Imam Junaid bertanya, “O, kalau begitu, ceritakan kepadaku Keindahan Ilahi apa yg Anda tangkap sekilas saat Thawaf, mengitari Ka’bah.”
“Tidak ada, Imam. Sekilas pun saya tak melihat.”

“Sama artinya Anda tidak mengelilingi Ka’bah sama sekali.” Lalu, “Ketika Sa’i, lari-lari kecil antara Shafa dan Marwa, apakah Anda menyadari tentang hikmah, nilai, dan tujuan jerih payah Anda?”
“Tidak.”

“Berarti Anda tidak melakukan Sa’i.” “Saat Anda menyembelih hewan di lokasi pengurbanan, apakah Anda juga mengurbankan nafsu keegoisan untuk menapaki jalan Allah?”
“Tidak. Saya gagal memperhatikan hal itu, Imam.”

“Artinya, secara faktual Anda tidak mengusahakan pengurbanan apa2.” “Lalu, ketika Anda melempar Jumrah, apakah Anda bertekad membuang jauh kawan dan nafsu busukmu?”
“Tidak juga, Imam.”

“Berarti Anda sama sekali tidak melempar Jumrah.”
Dengan nada menyesal, Imam Junaid menyergah, “Pergi, tunaikan haji lagi. Pikirkan dan perhatikan seluruh kewajiban yg ada hingga haji Anda mirip dgn ibadah haji Nabi Ibrahim, pemilik keyakinan dan kesungguhan hati sebagaimana ditegaskan al-Qur’an:

“Wa ibrahima l-ladzi waffa. Dan Ibrahim yang telah menyempurnakan janji.”

Ingin Belajar Agama dengan Mudah Lewat Aplikasi dibimbing langsung oleh Kyai/Guru/Ustad Yang Bersanad dan Jelas Keilmuannya.....
Download disini :  http://bit.ly/NU_jombang

Follow dan Subscribe:
Instagram: nujombangonline
Twitter: NU Jombang Online
YouTube: NU Jombang Online
kunjungi https://jombang.nu.or.id