Aktor Pemicu Perang Diponegoro
•Diponegoro menggampar Danurejo IV dengan selop karena patih menyangkal menyewakan tanah keraton ke pengusaha Eropa pada Garebeg Kraton 12 Juli 1820. (KITLV Leiden/Peter Carey)
•Residen Yogyakarta AH Smisseart, Patih Danurejo IV dan Wironegoro. (KITLV Leiden/Peter Carey)
Mengapa Pangeran Diponegoro akhirnya mengangkat senjata melawan pemerintah kolonial Belanda? Beberapa sejarawan menarik simpul yang sama, yaitu ada dua orang yang menyebabkan putra Sultan HB III itu mengobarkan perang.
Bukan lantaran ingin naik tahta sebagai sultan, setelah adiknya Sultan HB IV meninggal mendadak pada usia 17 tahun. Bukan juga karena yang diangkat sebagai putra mahkota adalah keponakannya (putra HB IV) yang masih berusia dua tahun – dan kemudian diangkat sebagai HB V. Pangeran Diponegoro memang sudah memendam rasa tidak suka terhadap dominasi dan intervensi pemerintah kolonial di dalam lingkungan Keraton Kesultanan Yogyakarta.
Kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial yang sangat merugikan keraton, membuat hati putra sulung Sultan HB III itu sangat prihatin. Namun kegelisahan sang pangeran – yang menjadi anggota Wali Raja untuk HB IV dan HB V – masih mampu ditahannya, hingga akhirnya meledak menjadi kemarahan besar dan memutuskan untuk mengusir penjajah kulit putih hengkang dari Tanah Jawa.
Ketidaksukaan Diponegoro atas situasi di keraton itu perlahan-lahan naik secara eskalatif. Karena baginya, situasi buruk itu bukan semata disebabkan oleh Belanda semata. Tapi juga disebabkan oleh mundurnya moralitas para bangsawan yang memegang jabatan-jabatan politik di keraton. Di sini, Diponegoro berhadapan dengan sejumlah bangsawan yang pro-Belanda.
Sepak terjangnya sebagai wali raja, makin lama makin dipersempit oleh lawan-lawan politiknya di lingkungan keraton. Secara politis, Diponegoro makin terjepit dalam lingkungan keraton oleh ulah persekongkolan bangsawan yang pro-Belanda dan para pejabat di karesidenan. Namun sebenarnya, kemurkaan Diponegoro membuncah ketika dua orang – berbeda warna kulit – seperti bersatu selalu memojokkan dan melecehkan dirinya. Yang kulit sawo matang adalah Patih Danurejo IV, sedang yang berkulit putih adalah Residen Yogyakarta Jonkheer Anthonie Hendrik Smissaert (JAH Smissert).
Realitas yang sangat menyakitkan hati pangeran adalah, bahwa Patih Danurejo IV adalah orang yang diusulkan menjadi patih oleh Diponegoro sendiri kepada ayahandanya, HB III. Posisi patih saat itu belum kosong. Namun patih saat itu, Patih Raden Adipati Danurejo III atau Mas Tumenggung Sindunegoro dianggap sudah terlalu tua dan pikun, maka diusulkan oleh Residen Yogya Crawfurd, untuk diganti.
Penggantian nama patih itu sempat menjadi masalah yang berlarut-larut. Crawfurd mengajukan dua nama. Pertama adalah Pangeran Dipokusumo. Kendati Diponegoro mennyetujuinya, ternyata Sultan HB III tidak setuju – karena nama itu dianggap pernah menentangnya ketika raja masih berstatus Putra Mahkota yang ‘bergesekan’ dengan ayahandanya sendiri, Sultan Sepuh (Sultan HB II).
Nama kedua yang diusulkan, adalah Raden Tumenggung Pringgodiningrat, patih jero. Diponegoro menolaknya mentah-mentah. Ini kembali membuat Crawfurd sangat marah, dan mendesak Diponegoro untuk segera memilih dua nama lagi yang diajukan. Desakan ini melalui Kapitan Cina yang sangat pro-Belanda, Tan Jin Sing. Crawfurd mengajukan lagi nama Pringgodiningrat – yang sudah ditolak Diponegoro – dan nama baru yaitu Mas Tumenggung Sumodipuro – mantan Bupati Japan (Mojokerto), yang kehilangan jabatan ketika terjadi aneksasi oleh Inggris. Nama terakhir inilah yang dipilih Diponegoro.
Meskipun tidak menyatakan menolak, Sultan HB III sangat heran dengan keputusan putra sulungnya itu memilih Sumodipuro. Mantan bupati dianggap berasal dari keluarga biasa, relatif muda, berlogat medok Jawa Timur yang sangat menunjukkan dirinya sebagai orang biasa, dan tidak pernah punya pengalaman memerintah bangsawan yang lebih tua. Namun karena Diponegoro tetap bersikeras, raja akhirnya mengangkat Sumodipuro sebagai patih dan bergelar Raden Adipati Danurejo IV pada tanggal 2 Desember 1813. Pengangkatan ini terjadi pada zaman Inggris menguasai Jawa 1811 -1816.
Namun ternyata di kemudian hari, Sumodipuro melakukan perbuatan-perbuatan yang selalu bertentangan dengan Diponegoro yang mempromosikannya. Bahkan terkesan, patih itu sangat membenci Diponegoro dan selalu menyudutkannya.
Pada masa awal menjabat, memang Danurejo IV ini masih terlihat cakap menjalankan posisinya. Sikap aslinya yang suka bersenang-senang dan main perempuan, belum nampak. Bahkan Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock (musuh utama Diponegoro nantinya) pada awalnya sempat memuji Danurejo IV sebagai seorang Jawa yang baik, selalu berpakaian rapi, senang menunggang kuda gagah, dan mempunyai gundik-gundik cantik, serta tidak pernah terpisah dari madat. Nantinya, Jenderal de Kock sangat kecewa dengan sikap patih yang sangat hedonis dan sering melalaikan tugasnya.
Danurejo IV juga bersekongkol dengan saudara tunggal kakek buyut, Mayor Tumenggung Wironegoro, komandan pasukan kawal sultan. Keduanya masih keturunan Untung Suropati, pejuang Bali bekas budak yang melawan Belanda pada masa Mataram di bawah Sunan Amangkurat II. Semua langkah politik Danurejo IV itu di-back up oleh Ratu Ibu (nantinya disebut Ratu Ageng), ibu tiri Diponegoro.
Perseteruan Diponegoro dengan persekongkolan kaum bangsawan dan Belanda ini akhirnya sampai puncaknya, ketika Diponegoro terpojok dan memutuskan hubungan dengan Kesultanan Yogya. Yaitu, ketika Bupati Kerjo di wilayah Sukowati, Mas Tumenggung Kertodirdjo II dipecat dari jabatannya oleh Patih Danurejo IV atas izin Ratu Ageng. Danurejo IV berniat mendudukkan mertuanya, Mas Tumenggung Sosrowirono, menjadi Bupati Kerjo. Sosrowirono ini juga paman dari Ratu Ageng.
Kertodirjo sempat mengadukan pemecatannya ini ke karesidenan, awal 1823. Meskipun Residen Yogya, JAH Smissaert, sempat memerintahkan pemeriksaan ulang, namun lagi-lagi, Danurejo IV memintervensi pengadilan agama, yang mengeluarkan putusan sela bahwa Kertodirjo tetap bersalah. Atas intervesi pengadilan ini, Kepala Pengadilan Agama Yogya, Penghulu Kiai Rahmanuddin, mengeluhkan campur tangan ini kepada Diponegoro. Pengaduan ini sampai juga ke telinga Danurejo IV, yang kemudian malah memecat Rahmanuddin – yang dianggap terlalu dekat dengan Diponegoro.
Patih juga banyak membuat ulah seputar kebjiakan Belanda menyangkut persewaaan tanah bangsawan dan rakyat jelata. Dalam kasus penyewaan tanah ini, jelas Diponegoro sangat menentang kebijakan tersebut. Alasan Diponegoro jelas, selain penyewaaan tanah kepada para pengusaha Eropa membuat para petani penggarap kehilangan pekerjaan dan akan sangat miskin, juga diam-diam itu langkah pengusaan tanah secara licik oleh orang-orang Eropa yang didukung oleh patih dan residen Yogya.
Namun tidak seperti pangeran lainnya, Diponegoro tak bersedia tanahnya disewa. Suatu ketika pangeran mendengar bahwa atas perintah Danurejo IV, tanah pertanian milik kesultanan di Rejowinangun disewakan kepada pengusaha Eropa. Hal ini memancing kemarahan Diponegoro dan mencela patih itu pada acara Garebeg Puasa pada tanggal 12 Juli 1820. Namun Danurejo IV justru mengatakan bahwa celaan Diponegoro sebagai tuduhan ngawur tak berdasar. Maka tiada ampun lagi, pangeran dari Tegalrejo itu naik pitam, dan menggampar wajah patih itu dengan menggunakan selopnya.
Diponegoro juga banyak sekali mendengar sepak terjang patih yang sangat koruptif dan suka main perempuan. Danurejo IV adalah pagar makan tanaman – suka sekali bermain asmara dengan para putri keraton. Pada masa pemerintahannya, mengingat HB IV masih anak-anak (dan nanti juga pada era HB V), Danurejo IV membiarkan para bule Belanda blusukan ke kedaton, dan membiarkan mereka melakukan hubungan asmara dengan para putri. Bahkan tidak hanya dirinya, sekongkolnya, Wironegoro, juga dibebaskan keluar masuk ke sejumlah kamar para putri. Situasi keraton ini sangat menyusahkan hati Pangeran Diponegoro sebagai wali raja. Dalam catatannya (setelah Diponegoro ditangkap), pangeran itu mengatakan, bahwa : “ Chavelier (Asisten Residen Yogya) dan orang Belanda lain menginjakkan kaki ke dakam keraton kami seolah-olah keraton itu kandang kuda, dan bebas berteriak seperti tempat itu adalah pasar.”
Diponegoro jelas menganggap Danurejo IV adalah musuh utamanya, dan biang kerok ketidakadilan di wewengkon Kesultanan Yogyakarta. Danurejo IV yang berlaku seperti sultan itu, jelas memusuhi Diponegoro, karena sebagai wali raja, semua yang dijalankan sang patih, harus dilaporkan kepadanya. Danurejo IV adalah mitra yang pas untuk Residen Yogya yang tidak cerdas dan kagok : JAH Smissert.
Lantas siapa Smisseart? Inilah residen Yogya yang menjabat antara tahun 1823-1825, yang dipecat karena dianggap tidak mampu melakukan tugasnya sebagai wakil pemerintah Belanda di wilayah Kesultanan Yogyakarta. Penunjukan Smisseart sebagai Residen Yogya ini, diibaratkan oleh orang Belanda sezamannya, Willem van Hogendorp, sebagai the wrong man in the wrong place, karena mantan Bupati Rembang ini tidak mempunyai pengalaman dinas di keraton-keraton Jawa tengah-selatan. Selain itu, Smisseart hanya memiliki bakat yang terbatas, pemalu dan kaku. Sosok lahirnya adalah lelaki bertubuh kecil, gempal gemuk, botak dan kurang menawan. Bersama wakilnya, PFH Chevallier, yang sangat takabur dan sangat doyan mengencani perempuan, harapan pemerintah Hindia Belanda pusat atas pemilihan Smisseart menjadi sia-sia. Penyelesaian soal-soal undang-undang agraria yang ingin diterapkan pemerintah kolonial, tak bisa semuanya terwujud. Ini akibat residen dan asistennya ini sangat buruk perilakunya, dan bekerja sangat lamban. Bahkan residen ini sering mangkir bekerja berbulan-bulan, dan lebih suka tinggal di tanah perkebunannya di Bedoyo di lereng Merapi.
•Jonkheer A Hendrik Smissaert (1777-1832) Residen Yogyakarta antara 1823-1825. Kecerobohannya memicu pecahnya perang Jawa. (KITLV Leiden/Peter Carey)
Smisseart membuat kebijakan-kebijakan yang merugikan keraton, yang nantinya juga menyakitkan hati Diponegoro, dan pemicu perang besar di Jawa itu. Beberapa hal yang membuat Diponegoro sangat marah adalah Smisseart sering duduk di dampar kencana, ketika berlangsung acara-acara keraton. Peristiwa pertama yang menghebohkan kalangan keraton, ketika Garebeg Puasa pada 9 Juni 1823, Smisseart duduk sendiri di singgasana Yogya yang kosong – karena usia Sultan HB V yang masih balita. Residen tampak tidak peka terhadap persoalan dampar yang sempat panas sejak zaman Sultan HB II. Ketika itu, Residen Yogya (zaman Inggris) menuntut kursi singgsana sultan sama tingginya dengan kursi untuk residen.
Sebenarnya Smisseart tak terlalu bersalah menyangkut ini. Mestinya yang duduk mewakili raja adalah salah satu dari empat wali raja. Namun Ratu Ageng (istri HB III) maupun Ratu Kencono (istri HB IV) tidak menghendaki Diponegoro duduk di sana mewakili sultan. Maka dari itu, dua wanita berpengaruh menyerahkan perwakilan kepada Residen Yogya itu. Smisseart duduk di singgsana ini bahkan terjadi lima kali sepanjang dia duduk sebagai residen, bahkan Gubernur Jenderal GAGP Baron van der Capellen di Batavia mensahkan keputusan Smisseart tersebut. Inilah sebuah keputusan yang sangat membuat Diponegoro sangat sakit hatinya. Sakit hati, karena dia tidak rela melhat Smisseart duduk di singgasana itu menerima sembah dari para bupati dari mancanegara timur, yang datang untuk menyerahkan upeti dan menghormat sultan.
Diponegoro juga sangat tersinggung dengan sosok Belanda hedonis itu, karena surat-suratnya. Simsseart tidak pernah menuliskan gelar pangeran, tapi hanya menulis “Diponegoro” tanpa embel-embel lain. Sebenarnya penyebutan nama saja itu atas inisiatif penerjemah karesidenan, Dietre, namun disetujui oleh Patih Danurejo IV dan Mayor Tumenggung Wironegoro.
Residen Yogya itu pula, yang dengan sengaja merancang memperluas jalan-jalan kecil sekitar Yogya, yang antara lain, salah satunya melewati sawah Tegalrejo dan dinding pagar rumah sebelah timur milik pangeran, dan mematokinya dengan tiang-tiang pancang. Pematokan ini dilakukan para bawahan Patih Danurejo IV pada tanggal 17 Juni 1825. Pematokan ini tanpa memberitahu pangeran terlebih dulu. Diponegoro meminta anak buahnya mencabutinya. Tapi residen dan patih mengulanginya lagi. Peristiwa pancang-cabung ini berlangsung sampai tiga kali, dan yang ke empat, Pangeran Diponegeoro mematoknya dengan tombak.
Itulah dua tokoh yang bersekongkol memojokkan Pangeran Diponegoro, yang akhirnya mengangkat senjata dan mengobarkan perang dahsyat selama lima tahun.
Sumber: Kuasa Ramalan (Peter Carey, 2011), Strategi Menjinakkan Diponegoro (Saleh A. Djamhari, 2004), Sekitar Jogjakarta (Soekanto, 1953)
0 komentar:
Posting Komentar