Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *


Minggu, 01 September 2019

Kuhselingkuh

Selingkuh

"Maa ... Papa mau berangkat ke Singapur, ada kerjaan penting di sana. Tolong siapkan pakaian, dong!" seru Dino pada istrinya yang baru aja menikmati kasur. Seharian si istri menjelajahi setiap sudut rumah dan melayani anak-anaknya.

"Beres, Pa. Berapa lama?" tanya Popi, akhir-akhir ini suaminya sering sekali bepergian atau lembur dengan alasan pekerjaan. Sekarang saja, Dino baru pulang dari kantor, jam 21.00 begini. Kebiasaan yang mulai aneh, tetapi Popi santai saja.

"Yaa, gak lama, lah. Cuma empat hari," ungkap Dino meyakinkan. Dia yakin, istrinya tak akan mengendus perselingkuhannya dengan sang sekretaris cantik.

"Tapi, empat hari itu lama, loh, Pa ... Mama bisa kesepian gak ada Papa," ucap Popi dengan wajah yang berubah sendu, walaupun dia merasa tak repot mengurus anak-anak dan meng-handle semua urusan keluarga mereka.

"Mau gimana lagi, Ma. Kalau Papa gak pergi, bisa-bisa bisnis kita hancur. Kamu mau Papa bangkrut? Nanti siapa yang bayarin sekolah anak-anak," ujar Dino gak kalah memelas. Dia sangat paham dengan karakter Popi yang lembut dan tak tegaan.

"Uhm, ya udah. Mama ikhlas Papa pergi," kata Popi seraya bangkit dari ranjang, duduk memandang tajam pada suaminya.

"Makasih, Sayang," ujar Dino penuh kemesraan seraya menghampiri dan mencium kening istrinya. Dalam hatinya riang bukan kepalang, punya istri penurut, setengah bodoh.

"Papa mandi dulu, nanti Mama siapkan makan di dapur." Popi tak melirik Dino. Barang-barang untuk dibawa ke Singapura belum dibereskan, langkahnya buru-buru ke dapur.

Dino terhenyak, bagaimana caranya bisa makan lagi, sebab tadi sudah habis-habisan makan bersama selingkuhan. Namun, kalau tak dipenuhi, bisa bahaya. Pikirannya kalut, seperti membongkar benang yang kusut.

"Mama masakkan rendang, kesukaan Papa," Popi sudah datang dengan sepiring nasi lengkap lauk-pauk dan segelas air, ke dalam kamar. Dino menelan ludah melihat porsi makan dalam piring.

"Pa ... Mama butuh persetujuan Papa untuk kebutuhan anak-anak sekolah. Pengeluaran buat mereka semakin banyak saja," curhat Popi sambil menyuapi suaminya makan.

"Nanti Papa tandatangani," sahut Dino sebal di sela-sela mengunyah nasi. Ini salah satu yang membuat dia malas bicara dengan Popi. Selalu membahas masalah anak-anak. Padahal, kan, dia bisa selesaikan sendiri. Dari dulu, setiap ingin menarik uang dalam jumlah besar selalu meminta persetujuan. 

"Papa memang terbaik," puji Popi untuk suaminya. Dia cukup senang mendengar jawaban suami, juga ketika beberapa suapan darinya sudah masuk ke dalam perut Dino.

"Udahan, Ma. Papa udah kenyang," kata Dino pada Popi yang hendak menyuapkan nasi kembali. Terlihat kecewa di wajah istrinya, tetapi dia benar-benar tak sanggup lagi. Perut terasa penuh, bisa-bisa muntah bila dipaksakan lagi.

Setelah meneguk minum, dia menikmati tontonan menarik di televisi. Lama-lama mata pun terpejam. Entah mengapa kantuk menguasai mata.

"Pa, ini suratnya, tandatangai." Popi datang membangunkan Dino yang baru saja tertidur.

"Apalagi, sih, Ma?!" bentak Dino pada istrinya, marah karena terganggu tidur. Sungguh, Popi berbeda jauh dengan sekretaris pujaan hati yang pandai membawa diri. Paham betul dengan dirinya.

"Tandatangani surat persetujuannya, Pa." Popi mengecup pipi Dino lembut, meskipun hatinya meringis ketika melihat suaminya mulai berani membentak, padahal dulu tak pernah begitu.

Dino menandatangani surat persetujuan yang dimaksud dalam keadaan setengah sadar, lalu melanjutkan tidur. Sementara Popi, masih berkemas-kemas memasukkan barang ke dalam koper.
***

"Papa hati-hati di Singapur, ya! Jaga diri biar tetap sehat," ucap Popi yang sedih akan berpisah dengan suaminya.

"Mama juga, jaga diri dan anak-anak. Papa akan pulang secepatnya," ujar Dino seraya menarik tangan Popi dan mengelusnya.

"Mbak Ica, tolong jaga suami saya," pesan Popi pada sekretaris yang menemani suaminya pergi.

"Amaan, Bu. Saya akan selalu mendampingi Bapak apapun yang terjadi," kata Ica dengan nada yang menggetarkan hati Popi. Dipandanginya perempuan itu sejenak, lalu tersenyum.

Dino dan Ica melambaikan tangan ketika masuk ke area penumpang tujuan luar negeri. Sementara Popi membalas dengan lemah, meskipun perih dalam hati. Istri mana yang bisa santai melihat suami pergi berduaan dengan wanita lain, walaupun dengan embel-embel dinas atau pekerjaan?
***

Tiba di Singapura, Dino dan Ica akan membooking sebuah kamar di hotel mewah. Dino mencari kartu ATM dan kartu kredit yang biasa digunakan, tetapi tidak ketemu. Dengan penuh amarah, dia menelepon sang istri.

"Halo! Ma, kamu itu gimana, sih? ATM dan kartu kredit Papa, kok, gak ada di dompet?" cecar Dino pada Popi. Perempuan yang baru saja memarkir kendaraan di tepi jalan terkejut diberondong beberapa pertanyaan sekaligus.

"Aduh, maaf, Pa. Mama lihat tadi dompet Papa sempat dimainkan anak-anak."

"Lalu, Papa musti gimana selama di Singapura?" marahnya Dino sudah sampai ke ubun-ubun. Dia sangat teledor, karena tak mengecek seluruh kartu yang ada di dompet sebelum pergi. Hanya memastikan pasport tidak tertinggal.

"Tolong beri teleponnya ke Ica, Pa. Mama mau ngomong sebentar. Biar Mama minta tolong ke dia dulu," bujuk Popi, dia harus membuang malu untuk hal ini.

"Iya, Bu," sapa Ica lembut. Suaranya memang mendayu-dayu.

"Ica, saya minta tolong, keperluan selama dua hari di Singapura ditalangi dulu. Saya akan ke bank, mencairkan uang, tapi belum bisa sekarang. Saya harus mengurus pekerjaan rumah dan anak-anak dulu. Kamu tenang saja, nanti uangnya dikirim ke rekening kamu. Saya ganti lebih banyak. Tapi, kalau kamu gak punya uang, terpaksa kalian pulang dulu," jelas Popi pada Ica.

"Kalau cuma dua hari, saya bisa, Bu." Buru-buru Ica mengungkap kesediaannya. Sayang banget kalau harus cabut dari Singapura secepat ini. Toh, dia cuma meminjamkan sementara. Istri goblok seperti Popi tentu tak berani ingkar janji. Bisa mati dia kalau diceraikan Dino.

Telepon dimatikan, Popi melanjutkan perjalanan kembali. Tiba di rumah dia segera menyelesaikan berbagai urusan.

Dino dan Ica bersenang-senang di luar negeri. Dino sama sekali tak mengingat anak dan istri, serta keluarga besarnya. Begitu pun Ica, lupa pesan kedua orang tuanya. Apalagi Tuhan, sudah tak ada dalam hati nurani. Hidup gemerlapan, menikmati yang tak seharusnya.
***

Dua hari kemudian, Dino mencoba menelepon Popi, tetapi tidak diangkat. Berkali-kali panggilan ditolak. Tak sabar, dikirimnya pesan bernada marah luar biasa.

[Dasar wanita tak tahu diuntung! Cepat kirim uang ke rekening Ica sesuai janjimu! Kalau tidak, kau akan menyesal saat kuceraikan!]

Pesan tidak dibaca. Aneh, tak seperti biasanya. Dalam amarah, terselip kekhawatiran dalam hati Dino. Jangan-jangan Popi bunuh diri karena tahu dia berselingkuh. Dimintanya Ica yang menghubungi Popi, tetapi juga tidak diangkat. Perempuan itu panik, uang yang ada di tabungannya telah terkuras. Akan menjadi semakin gawat kalau Popi tak segera mentransfer uang.

[Bu, saya mohon transferkan uang segera.]

Pesan yang terkirim tak satupun yang dibalas. Dino menelepon tetangga rumahnya untuk melihat kondisi Popi dan memberitahu informasi padanya sesegera mungkin.

"Halo, Mas Dino," jawab tetangganya ketika Dino kembali menelepon. Dia sudah melihat keadaan Popi dan rumahnya.

"Apa Mas sudah bertemu Popi?" tanya Dino pada tetangganya. Berharap perempuan itu baik-baik saja dan segera mentransfer uang untuknya.

"Iya, Mas. Barusan, sebelum Mbak Popinya permisi pergi," sahut tetangganya.

"Pergi ke mana, Mas?" selidik Dino.

"Katanya Mas Dino sudah kawin lagi, jadi dia dan anak-anak pindah. Rumah sudah dijual murah sama preman pasar," urai tetangga Dino.

Dino terdiam, sesaat kemudian masuk sebuah pesan.

[Terima kasih karena telah menyetujui perceraian kita. Rumah beserta isinya kujual murah dengan Pak Kosim, preman pasar. ATM kamu juga sudah aku kuras. Semua demi sekolah dan masa depan anak-anakmu. Dari aku wanita tak tahu diuntung]

Dino pucat, apalagi saat Popi mengirim dokumen yang ditandatangani olehnya. Memang, dia bisa saja menggugat rumah yang terlanjur dijual, tetapi bagaimana menghadapi Pak Kosim? Ica mendekati Dino dengan ekspresi penuh kecemasan.

"Mas, ada apa?" desak Ica. Tak lama, sebuah pesan juga masuk ke HPnya.

[Dik Ica, kamu bilang akan menjaga suami saya dan apapun yang terjadi tetap bersamanya. Sekarang nikmatilah. Aku tak akan mengganti uangmu sepeserpun. Dari aku, wanita bodoh.]

Setelah itu,  Popi membuang kartu selular miliknya. Dia sudah bertekat untuk pergi sejauh mungkin. Sakit hatinya terbayar lunas. Perselingkuhan sudah lama tercium dan ini bukan kali pertama dia dikhianati. Selama ini sudah berusaha bersabar demi anak-anaknya. Sekarang, tiada ampun. Perbuatan jahat tak perlu refleks direspon. Perlu strategi dan taktik yang jitu agar tak menyesal.

Note:
Ini cerpen, tidak ada lanjutannya.

Sumber gambar: kompasiana.com

0 komentar:

Posting Komentar