Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *


Rabu, 12 Juni 2019

Hikmah kematian

MENGHIKMAHI KEMATIAN

Dalam beberapa pengajian Gus Baha’ yang saya ikuti, kajian tentang kematian adalah tema yang awalnya mencekam. Tapi saya coba ikuti terus sebagaimana pesan beliau: harus dilatih terus menerus.

Pelajaran awalnya yang saya dapat adalah dari kejadian sehari-hari. Tempat Gus Baha’ ini tidak jauh dari kampung halaman saya. Sehingga saya lebih mudah mendapatkan contohnya. Jika ada orang yang meninggal karena minum oplosan, bagaimana menghikmahinya? Kalau ada kejadian seperti itu, cara berpikir kita secara spiritual adalah mungkin dengan cara seperti itu Tuhan tidak ingin memperpanjang kekeliruan orang yang bersangkutan. Dengan begitu, potensi kekeliruannya disetop. Dipungkasi. Dan kita tak perlu menjadi hakim bahwa itu kematian yang buruk. Kita tidak tahu dan tidak pernah tahu posisi orang itu dihadapan Tuhan.

Kalau ada orang yang meninggal dunia karena kecelakaan naik pesawat terbang, lalu ada orang yang selamat karena terlambat naik pesawat terbang, secara pandangan manusiawi orang yang terlambat beruntung, dan orang yang kecelakaan termasuk tidak beruntung. Tapi di mata Tuhan belum tentu begitu. Bisa saja semua beruntung. Yang terlambat dan selamat diberi waktu untuk menambah amal kebaikannya, sementara yang meninggal dunia dicukupkan kebaikannya.

Gus Baha’ yang saya ketahui dari ceramah-ceramah beliau, mengidap sakit. Dia berobat juga. Tapi punya kesadaran bahwa berobatnya dia sebagai bagian dari syariat ikhtiar. Tapi beliau tetap punya kesadaran hakikat. Karena kalau memang beliau mesti meninggal dunia karena penyakitnya, bisa jadi itu cara yang baik. Dengan rendah hati beliau berkata: Siapa tahu kehadirannya di dunia tidak baik lagi sehingga memang Tuhan memutuskannya kematiannya lebih baik.

Beliau tidak pernah punya masalah dengan cara bagaimana Tuhan akan memanggilnya. Apakah dengan kecelakaan, sakit, atau bahkan disantet orang. Tidak ada urusan ulama kok bisa disantet dan mati. Ya bisa saja kalau Tuhan memutuskan seperti itu. Tidak ada kepastian bahwa ulama tidak bisa mati disantet. Dan itu tidak masalah baginya.

Mungkin ini pernah saya sampaikan. Suatu saat Gus Baha’ ditanya orang.

“Gus, meninggal hari Jumat itu baik ya...”

“Ya baik. Meninggal di hari lain juga baik.”

“Ya, Gus. Tapi kan Kanjeng Nabi yang bilang bahwa meninggal dunia hari Jumat itu baik.”

“Ya, tapi Kanjeng Nabi meninggalnya tidak di hari Jumat.”

Lebih lanjut Gus Baha’ menerangkan, itu menunjukkan bahwa Kanjeng Nabi itu nabi bagi semua orang. Hikmahnya adalah semua orang yang meninggal dunia di hari selain hari Jumat tidak perlu disikapi sebagai hal yang tidak baik.

Kanjeng Nabi juga pernah ngendikan bahwa meninggalnya orang saleh itu tenang tanpa rasa sakit. Tapi meninggalnya Kanjeng Nabi sendiri melalui rasa sakit. Sebab tanpa itu, umat Kanjeng Nabi tidak mendapatkan pelajaran tentang sakitnya proses ketika ruh tercerabut dari jasad.

Renungan kematian dari Gus Baha’ ini mungkin kontekstual di hari-hari belakangan ini. Ketika banyak saudara kita yang meninggal dunia karena bencana alam. Kita tidak diperkenankan secara adab menyikapi kematian mereka dengan hal buruk. Sebab sangat mungkin itu yang dipilih oleh Tuhan sebagai jalan terbaik menghadap kepadanya.

Tidak perlu berlebihan menilai manusia. Tugas manusia bukan menilai sesama manusia. Manusia bukan hakim bagi manusia yang lain. Apalagi menghakimi hal yang sangat sakral itu dengan kata-kata seperti azab dan hukuman Tuhan. Padahal kita tak tahu apa-apa tentang salah satu misteri terbesar manusia: kematian. Dan tak perlu merasa paling mengerti cara berpikir Tuhan. Memangnya kita ini siapa...?

0 komentar:

Posting Komentar