Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *


Selasa, 07 Mei 2019

Beragama

Tuhan (Bukan) Orgasme


Andai agama tak sebatas dipeluk, melainkan dicumbu dan disetubuhi, mungkin beragama tak setegang hari-hari ini. Seperti kata Dalang Sujiwo Tejo, "Mestiya agama itu disetubuhi. Jadi nyawijiManunggal!" Sebab, memeluk itu hanya pada permukaan, maka kita hanya berkutat pada "kulit luar", tidak sampai kalbu.


Sebelumnya saya berdoa kepada Tuhan agar menjadikan kita bukan sebagai pemeluk agama, tetapi sebagai penyetubuh agama, agar keberagamaan kita lebih intim, khusyuk, kudus, sekaligus romantis.

Tuhan bukanlah orgasme, tetapi melalui orgasme manusia bisa mencapai penghikmatan batin tentang-Nya. Pada orgasme, kata-kata, bahkan satu huruf pun meniada. Mungkin manusia hanya bisa berseru, "Oh, my God," atau, "Oh," "Ah," "Gusti," dan lain-lain, tapi sesungguhnya orgasme lebih "dalam" dari sekadar kata-kata. Kata-kata hanya salah satu media perjuangan manusia dalam menerjemahkan rasa. Tapi kata-kata bukan (pe)rasa(an) itu sendiri.

Rasa itu mutlak; kata-kata (alat penerjemahannya) yang membuatnya relatif.

Contoh: sambal Bu Rudi hukumnya pedas, tetapi tingkat kepedasan pada diri si a dan si b belum tentu sama. Mungkin bagi si a rasanya sangat pedas, sedang bagi si b rasanya lumayan pedas. Ini menunjukkan bahwa pe-rasa-an setiap manusia itu hukumnya pasti dan berbeda-beda, hanya saja kata-kata yang digunakan untuk mewakili perasaan itu sangat terbatas, sehingga meskipun rasa sambal Bu Rudi pada mulut si a dan si b berbeda.

Keduanya "terpaksa" sepakat pada kata (penilaian) yang sama: pedas. Karena, ya kembali lagi, bahasa kata-kata sangatlah terbatas.

Begitu juga Tuhan, Ia disebut Mahabesar, Mahaperkasa, Mahapenyayang, Mahapengasih, dan lain-lain tetapi ia sesungguhnya bukan itu semua. Ia dipredikati dengan sifat-sifat manusia hanya untuk membantu penalaran manusia terhadap-Nya. Ia melabeli diri dengan perangkat-perangkat kemanusiaan agar memudahkan pembayangan manusia tentang-Nya. Tetapi sejatinya Ia bukan kata, bukan nama. Karena Ia bukan manusia!

Dalam lakon Rahvayana, Sinta pernah berganti-ganti nama menjadi Waidehi, Janaki, dan lain-lain. Tapi itu tak melunturkan cinta Rahvana. Rahvana tetap mencintai-Nya, karena yang dia cintai bukan nama atau terduga nama, tapi zat.

Maka jika hari-hari ini bentuk beragama umat manusia dipenuhi dengan tindakan negatif-destruktif, boleh jadi itu disebabkan oleh kompetisi nama yang kita perlombakan selama ini. Boleh jadi bukan Tuhan yang kita ributkan, tetapi penafsiran-penafsiran kita tentang Tuhan.

Si a menafsirkan Tuhan begini, si b menafsirkan Tuhan begitu, kemudian kita berdebat tentang Tuhan mana yang benar. Karena kita hanya memperdebatkan tafsiran-tafsiran maka perdebatan tak menemukan titik temunya. Maka berkelahilah kita.

Maka sebaiknya, persanggamaan yang dilakukan umat manusia tak sekadar dijadikan sebagai media penikmatan diri (rekreatif), tetapi lebih dari itu, sebagai media penghikmatan diri (reflektif). Sebagai sesuatu yang bisa difilsafati--yang membawa kita pada kesadaran ilahi. Kesadaran yang, kata Jalaluddin Rumi, membawa kita pada "Suatu Ruang Murni" tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah.

Ah, saya sering senyum-senyum sendiri kalau mengingat kicauan dari akun Twitter @Nugarislucu: "Beragamalah seperti perokok aktif. Meski beda merek tak pernah saling hina. Sambil bercengkerama mereka, menikmati rokok sesuai selera."

Andai bisa terwujud cara beragama yang demikian di seantero negeri ini. Hmmm....

0 komentar:

Posting Komentar