Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *


Jumat, 05 September 2014

PRAKTEK KORUPSI DI INDONESIA DIPANDANG DARI SEGI FILSAFAT MORAL

PRAKTEK KORUPSI DI INDONESIA DIPANDANG DARI SEGI FILSAFAT MORAL

PENDAHULUAN
1.1        Latar Belakang
Korupsi di Indonesia tidaklah asing lagi di dengar oleh telinga. Bahkan setiap hari di media tak henti-hentinya mengabarkan tentang korupsi. Adapun korupsi yang merajalela di Indonesia seakan-akan tidak terbendung lagi. Baik itu ditingkat pusat sampai daerah terjangkit korupsi.
Pemberantasan korupsi selama ini masih belum berjalan dengan baik. Hal ini ditandai masih banyaknya perilaku korupsi ditemui di Indonesia. Meskipun peran pemerintah sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengurangi dan memberantas korupsi dengan cara memberi hukuman yang berat seperti: tidak memberikan keringanan hukuman, mencabut hak memilih dan dipilih, dimiskinkan dan lain sebagainya. Namun upaya tersebut masih kurang efektif hal ini terbukti dengan masih adanya oknum-oknum di pemerintahan yang terlibat perilaku korupsi.

1.2        Rumusan Masalah
1.      Bagaimana praktek korupsi di Indonesia?
2.      Bagaimana pandangan filsafat moral terhadap praktek korupsi yang terjadi di Indonesia?

1.3        Tujuan
1.      Mendiskripsikan praktek korupsi di Indonesia.
2.      Mendiskripsikan pandangan filsafat moral terhadap praktek korupsi yang terjadi di Indonesia.



PEMBAHASAN
2.1       Praktek Korupsi di Indonesia
Permasaahan korupsi akhir-akhir ini banyak mencuat di media, mulai dari kalangan atas, kalangan menegah, dan bawah. Bukan hanya materi berbentuk uang yang bisa dikorupsi, tetapi waktu pun juga dikorupsi. Misalnya jam kerja dimulai dari jam delapan hingga jam empat sore, tetapi banyak karyawan yang sudah pulang dari jam empat kurang. Itulah contoh korupsi sederhana yang mungkin biasa dilakukan tanpa disadari.
Dalam skala makro, di  Indonesia  masalah  korupsi  telah  menjadi  fokus  utama.  Indeks  korupsi  Indonesia mengalami peningkatan dari 2,6 pada tahun 2008 menjadi 2,8  pada tahun 2009. Pada Maret  10,  berdasarkan  hasil  data  survey  dari  “Political  &  Economic  Risk  Consultancy” (PERC) – Hongkong  dan  Transfarency  Internasional  –  Jerman  menunjukkan  bahwa  Indonesia  termasukara Negara terkorup nomor satu dari  enam belas negara yang ada di Asia Pasifik. Dari kasus-kasus korupsi yang diungkap  selama  tahun  2010,  tentu  saja  kita  dapat  memperkirakan  kemungkinan  indeks korupsi  Indonesia  akan  meningkat  lagi.  Tidak  ada  upaya  serius  dari  pemerintah  untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi tersebut. Dari peringkat dunia, Indonesia termasuk Negara besar terkorup.  Di tingkat Asia Tenggara kita termasuk Negara terkorup nomor satu. (Majalah “AKUNTAN INDONESIA”,  29/Tahun 2011, hal. 36-40).
Mengingat banyaknya praktek korupsi yang telah merajalela di jajaran pemerintahan. Mereka para Individu yang sedang mengenggam kekuasaan, bukanlah individu yang semuanya dikaruniai kualitas moral yang lebih tinggi dari orang kebanyakan. Secara moral mereka sama saja dengan rakyat yang mereka wakili. Bahkan mereka jauh lebih rentan terhadap kesalahan dan kejatuhan. Mengapa?, karena mereka memiliki kekuasaan, yang dalam dirinya selalu mengandung kecenderungan untuk disalahgunakan.
 Realitas sekarang ini bahwa pejabat pemerintah cenderung dalam melaksanakan fungsi-fungsinya lebih memperlihatkan pertarungan kekuatan dan kepentingan tanpa memperhatikan yang idealnya, dan tidak tunduk kepada apa yang seharusnya, sehingga yang terjadi mengabaikan apa yang sepatutnya dilakukan. Sementara itu, ditengah-tengah kehidupan kita terjadi pertarungan kepentingan pribadi dan kelompok antar para elite politik. Selain itu, money politic yang dilakukan oleh sebagian para politisi dalam meraih jabatan dipertonton dengan mencolok tanpa merasa malu dan bersalah, sehingga menampakkan sebagian para pejabat tidak tahu lagi membedakan antara yang halal dan haram dan antara yang benar dan salah (ingat hanya sebagian yang demikian).
Kemudian, keadaan ini diperparah oleh kasus-kasus korupsi yang belakangan membawa para pejabat pemerintah ke jeruji-jeruji penjara. Harapan masyarakat setelah jatuhnya pemerintahan Orde Baru masalah Korupsi Kolusi Nepotisme akan hilang, tetapi kenyataannya justru sebaliknya korupsi semakin hari semakin meningkat, sehingga etika dikalangan pejabat yang kenyataannya menjadi pemimpin formal bangsa ini cenderung semakin terpuruk. Serta tampaknya sebagian pejabat ini tidak lagi mampu membedakan antara wewenang mereka dan bukan, antara kebijakan dan tindakan yang benar dan yang salah.
Terkait dengan hal itu, fakta tergambar dengan sangat jelas dan secara kasatmata dilihat oleh publik sebagai kenyataan perilaku yang tidak saja tercela tetapi juga melanggar hukum. Fakta tersebut terlihat dari beberapa kasus yang menimpa pejabat pemerintahan, antara lain :
1.      Mantan Menpora Andi Mallarangeng yang Jumat (11/10) gagal ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kedua tokoh ini terlibat dalam kasus proyek Hambalang, Bogor.
2.      Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, juga menggemparkan para kader partai Islam ini. Betapa tidak mengejutkan, Luthfi bersama Ahmad Fathanah didakwa menerima hadiah atau janji berupa uang Rp 1,3 miliar, bagian dari total imbalan Rp 40 miliar yang dijanjikan Dirut PT Indoguna Utama terkait pengurusan persetujuan penambahan kuota impor daging sapi.
3.      Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini dan mantan Kepala Korps Lantas Polri Irjen Djoko Susilo. Irjen Djoko telah divonis Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta.
4.      Kasus ditangkapnya Ketua MK, Akil Mochtar, di rumah dinasnya pada 3 Oktober 2013 karena diduga telah menerima suap terkait sengketa Pilkada Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, menjadi contoh paling anyar.
Sungguh miris sekali, selain itu yang mulanya sebelum orde reformasi, tindak korupsi hanya terjadi pada tingkat pusat saja. Namun setelah adanya desentralisasi maka korupsi di daerah tak terelakan, yang justru itu menimbulkan ruang baru bagi penguasa korup. Tidak hanya itu saja bahkan aparat penegak hukum juga ikut-ikut melakukan tindak korupsi, baik yang sudah terpidana, tersangka, terdakwa, maupun yang masih berkeliaran.  

2.2       Pandangan Filsafat Moral Terhadap Praktek Korupsi yang Terjadi di Indonesia
Kata Latin corruptus, (corrupt) menimbulkan serangkaian gambaran kejahatan; kata itu berarti apa saja yang merusak keutuhan, ada nada moral pada kata tersebut (Klitgaard, 2005 dalam). Sementara itu, salah satu definisi korupsi menurut kamus lengkap Webster’s Third New International Dictionary (dalam Klitgaard, 2005) adalah ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran tugas. Selain itu, Klitgaard (2005)  mendefinisikan korupsi sebagai tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri); atau melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. Online (nazaki-nashir.blogspot.com/2012/.../apakah-korupsi-melanggar-etika.ht).
Pemahaman pengertian korupsi di tengah masyarakat juga beragam. Tidak ada satu kata dalam  hal  pengertian  korupsi.  Menurut  Baharudin  Lopa :1987 (dalam Sparta, 2011:36), pengertian  umum  dari korupsi  adalah  suatu  tindak  pidana  yang  berhubungan  dengan  perbuatan  penyuapan  dan manipulasi  serta  perbuatan-perbuatan  lain  yang  merugikan  atau  dapat  merugikan  keuangan atau  perekonomian  negara,  merugikan  kesejahteraan  dan  kepentingan  rakyat.  Pengertian  lain yang memberikan sudut pandang yang berbeda dari pendapat Lopa tersebut adalah pengertian korupsi dalam  Undang-undang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Korupsi  (UU  31/1999). Pengertian  korupsi  menurut  undang-undang ini adalah “ perbuatan memperkaya diri sendiri atau  orang  lain  dengan  melawan  hukum  yang  dapat  merugikan  keuangan  negara    atau perekonomian Negara” atau “perbuatan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana  yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain serta dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”. Termasuk pengertian korupsi adalah suap terhadap pejabat atau pegawai negeri. Dari  pengertian  korupsi  tersebut  di  atas  terdapat  beberapa  kata  kunci  dalam  pengertian korupsi  yaitu    “perbuatan”,”melawan hukum”, memperkaya diri sendiri atau orang lain”, “merugikan  keuangan/perekonomian Negara”, “menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya”, dan “menguntungkan diri sendiri”.
Dari beberapa definisi diatas mengenai korupsi dapat diambil titik temu bahwa korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dengan merugikan Negara. Kegiatan korupsi dengan jalan memanipulasi, menyuap, dan lain lain.
Selanjutnya mengenai keadaan yang dapat menimbulkan seseorang melakukan korupsi, Pope menegaskan pula dalam saidi dkk, dalam blognya paksuzaki bahwa :

Korupsi dapat terjadi jika ada kesempatan dan keinginan dalam waktu bersamaan. Kesempatan (structural) dan keinginan (cultural) sangat memegang penjelasan kunci bagaimana korupsi itu bisa terjadi. Jika masalah peluang lebih berkaitan dengan ada-tidaknya kontrol, maka masalah keinginan lebih berkaitan dengan integritas moralitas yang dimiilki aktor. Keduanya, tidak bisa saling menafikan. Jika ada kesempatan tetapi tidak ada keinginan, maka korupsi tidak akan terjadi. Sebaliknya, jika ada keinginan tetapi tidak ada kesempatan maka korupsi juga tidak akan terjadi.
Kemudian dijelaskan pula mengenai praktek korupsi terbagi atas beberapa kategori, dalam Saidi dkk, 2006,  dalam blognya paksuzaki yaitu:
1.      Korupsi transaktif yaitu korupsi yang terjadi dalam bentuk suap antara pemberi dan penerima dalam bentuk saling menguntungkan (simbiose mutualistik).
2.      Korupsi ekstortif yaitu korupsi yang terjadi akibat pungutan paksa dari pejabat atas jasa yang diberikan, sedangkan pihak luar terpaksa harus memberi karena terpaksa.
3.      Korupsi invensif yaitu pemberian hadiah atau jasa sebagai upaya investasi guna memperoleh kemudahan di masa yang akan datang.
4.      Korupsi nepotistik yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan khusus baik dalam pengangkatan pada kantor publik maupun  pemberian proyek-proyek bagi kerabat dekat.
5.      Korupsi otogentik  yaitu korupsi yang terjadi jika seorang penjabat menjual informasi rahasia kepada para peserta tender dengan imbalan tertentu.
6.      Korupsi suportif yaitu korupsi yang dilakukan secara jamaah dalam satu bagian dengan tujuan untuk melindungi dan mempertahankan praktik korupsi yang dilakukan secara kolektif.
Dalam konteks teori kekuasaan, dikatakan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan di mana seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan tindakan seseorang atau kelompok orang lain ke arah tujuan dari pihak pertama (Laswell dan Kaplan dalam Budiardjo, 2009). Dalam hal ini, ditinjau dari tujuan kekuasaan pejabat pemerintah dalam hal ini adalah anggota dewan perwakilan rakyat hakekatnya adalah untuk mencapai tujuan negara Republik Indonesia yaitu untuk menyelenggarakan kesejahteraan dan kecerdasan rakyat Indonesia.
Korupsi di Indonesia telah menjadi fenomena sistemik dan menjadi problem social-politik yang mengakar. Korupsi sistemik telah melintasi kategori-kategori sosiologis politik pedesaan dan perkotaan. Di dalam system seperti ini , korupsi bukan saja mampu mempertahankan dirinya dari usaha-usaha pemberantasan korupsi yang sporadic dan tidak sistemik. System yang korup telah menjadi habitat yang sangat mendukung bagi proses regenerasi koruptor. (Transparency Intenational Indonesia, survey integritas anak muda 2013, hal1).
Dalam benak mereka melakukan korupsi adalah hal wajar dan tidak dapat dihindari manakala rekan kerjanya lebih-lebih atasan melakukan praktek korupsi. Maka pejabat dibawahnya ikut-ikut kena getahnya. Kemudian ketika ada kesempatan untuk melakukan suatu tindakan memperkaya diri dengan tidak memperdulikan akibat yang akan ditimbulakan adalah kerugian Negara. Tindakan-tindakan mereka yang bertentangan dengan nilai moral, etika tidak dihindarkan yang ada dalam benak mereka adalah keserakahan. Tindakan korupsi terjadi manakala kekuatan moral etisnya pejabat turun sedangkan nilai ingin memiliki sesuatu yang bukan haknya  nya meningkat.
Maka tidaklah dianggap bermoral jika para pejabat  itu tidak mencerminkan pengabdian sebagai abdi Negara. Pejabat Negara dalam tujuannya adalah pengabdiannya untuk mewakili aspirasi masyarakat yang diwakili namun melakukan korupsi adalah suatu hal yang sia-sia. Negara Indonesia  ini berada dalam kategori miskin ditambah lagi para pejabat yang melakukan korupsi, hal itu justru memperparah keadaan, yaitu semakin miskin. Manakala kekayaan Negara dirampok hanya untuk sebagian kalangan yang menikmati, tidak untuk kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pejabat yang melakukan korupsi patut dipertanyakan kredibilitas moral, etikanya. Adakalanya pejabat yang sengaja melakukan itu, tidak sengaja, ikut-ikut karena suatu hal yang tidak mungkin ia langgar, kalau dilanggar akan disingkirkan (pecat atasan) dan lain sebagainya. Namun di kalangan pejabat walaupun banyak ditemui di media massa yang tersangkut soal korupsi, penulis percaya masih banyak para pejabat yang memikili moral, etika yang tinggi. Pemimpin yang berhati jujur, amanah, bijaksana masih banyak ditemui di Negara ini.
Upaya pemberantasan tindak korupsi ini sekarang makin gencar-gencarnya. Baik upaya preventif, represif, maupun koersif. Upaya dari pemerintah sendiri seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP). Selain itu dari kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat juga tidak tinggal diam yaitu Indonesian Corruption Watch (ICW), Government Watch (GOWA), dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI), Malang Corruption Watch (MCW) dan lain-lain.
Diharapkan dengan adanya berbagai upaya tersebut angka korupsi di indonesia dapat ditekan, dan bahkan diberantas. Pemberantasan tersebut tidaklah mudah perlu perjuangan yang keras, baik pemerintah, kalangan swasta serta masyarakat indonesia pada umumnya saling kerjasama. Demi Negara indonesia kedepan lebih baik, bermartabat, no korupsi.

PENUTUP
3.1       Simpulan
Korupsi merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri dengan merugikan Negara. Kegiatan korupsi dengan jalan memanipulasi, menyuap, dan lain lain. Banyak ditemui praktek korupsi di indonesia baik ditingkat pusat, daerah, swasta dan lain-lain yang merugikan Negara. Hal itu terbukti banyaknya tersangka, terpidananya beberapa pejabat pemerintah setelah keputusan di pengadilan. Namun walaupun di Negara ini begitu banyak pemimpin yang melakukan perbuatan yang melanggar etika, moral tersebut. Masih banyak dijumpai pemimpin yang jujur, amanah dalam mengawal keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berbagai upaya terus dilakukan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, walaupun sudah terbentuk badan-badan pemberantasan jika tidak ada kerjasama di semua pihak. Maka mustahil Indonesia akan bebas dari korupsi.

3.2       Saran
Perlu adanya kerjasama dari semua pihak dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Pemerintah, swasta, dan seluruh rakyat Indonesia saling bekerjasama dalam pemberantasan.

DAFTAR PUSTAKA
Budiarjo, Miriam. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.
Sumber, (Http/:Indryfile.Blogspot.Com/2013/11/Moralitas-Koruptor-Tugas-Ke-4_27.Html). Online,  diakses 1 September 2014.

Sumber, (Http/:Nazaki-Nashir.Blogspot.Com/2012/.../Apakah-Korupsi-Melanggar-Etika.Ht...). Online, diakses 1 September 2014.

Sparta. Praktek Korupsi Di Indonesia Dari Sisi  Filsafat Manusia. Majalah Akuntan Indonesia. 2011. Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Sumber, (Praktek Korupsi Di Indonesia portal.kopertis3.or.id...Tulisan_Sparta_Korupsi%20dan%20Filsafat%20...). Online, diakses 1 September 2014.

Transparency Intenational Indonesia. Survey Integritas Anak Muda 2013. 2013. Jakarta Selatan.





0 komentar:

Posting Komentar